Sastrawan, Impian yang Tercapai

Oleh Eka Merdekawati K.S.


“Saya menemukan bahwa puisi menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan perasaan saya. Saya berdoa pada Allah, kalau saya dikaruniai umur panjang, saya akan terus berkarya”, ujar Taufiq Ismail pelan namun pasti. Keinginannya untuk terus menulis bukanlah untuk sebuah hobi, namun dengan menulis puisi, ia bisa menulis apa saja yang dia lihat dan rasakan.

Taufiq Ismail dibesarkan dalam keluarga guru. Sang ayah, A. Gaffar Ismail dan ibunya, Timur M. Nur, merupakan guru. Orangtuanya aktif dalam kegiatan kemerdekaan Indonesia. Keaktifan ayahnya dalam kegiatan itulah yang membuat ayah Taufiq dibuang ke Pekalongan. Taufiq Ismail sendiri lahir di Bukittingi, 25 Juni 1935, anak kedua dari enam bersaudara.

Perkenalan Taufiq dengan sastra dimulai dengan hobinya yang gemar membaca. Kedua orangtuanya memiliki banyak buku dan juga gemar membaca. Hobi orangtuanya inilah yang menurun pada Taufiq. Sebulan sekali, ayahnya membelikan buku untuk Taufiq. Novel pertama yang dibaca Taufiq Ismail adalah Tak Putus Dirudung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang dibacanya ketika kelas 3 Sekolah Rakyat.

Taufiq sendiri melewati masa sekolahnya di sekolah rakyat dengan berpindah-pindah. Dia bersekolah di sekolah rakyat Solo, kemudian berpindah-pindah ke Semarang, Salatiga, dan tamat di Yogyakarta. Memang sejak jaman pendudukan Jepang, Taufiq mengikuti orangtuanya yang sering berpindah kota.

Ketika jaman penjajahan Jepang itulah ayah Taufiq menjadi seorang wartawan di Sinar Baru dan menulis tajuk rencana. Membaca tulisan ayahnya di koran inilah membuat Taufiq terkagum-kagum dan berpikir bagaimana caranya membuat tulisan yang panjang. Ibunya juga menulis puisi dan pantun dalam majalah pergerakan perempuan. Hal ini memberikan pengaruh yang besar bagi Taufiq Ismail. “Saya ingin meniru mereka,” ucap Taufiq. Puisi pertamanya yang dimuat dalam koran Sinar Baru dibuat ketika Taufiq masih sekolah di sekolah rakyat. Perasaan bangga dan senang tak terbendung dalam dirinya.

Ketika SMA di Pekalongan, Taufiq dan teman-temannya berlomba untuk mebuat tulisan di media massa. Ia dan teman-temannya meminjam buku dari perpustakaan kota, lalu membaca dan mendiskusikan buku-buku yang dipinjamnya. Keinginannya saat itu adalah tulisannya bisa dimuat di surat kabar Jakarta karena pada saat itu, jika tulisan dimuat dalam media massa terbitan Jakarta berarti orang itu hebat. Tulisannya ketika SMA sempat dimuat dalam majalah Kisah. Kegemaran Taufiq akan membaca buku inilah yang membuatnya bercita-cita menjadi sastrawan ketika SMA.

Di SMA pula, Taufiq Ismail mendapatkan beasiswa dari American Field Service International Scholarships 1956-1957 untuk belajar di Milwaukee, Winconsin. Di sana, Taufiq bersekolah di Whitefish Bay High School, dan mendapatkan pelajaran sastra yang berbeda dengan di Indonesia. “Lainnya itu, kau harus banyak membaca buku dan kemudian didiskusikan di kelas,” ujar Taufiq. Tak jarang, ia harus membaca buku sebanyak 50 halaman per hari.

Saat liburan musim semi, Taufiq ditawari pekerjaan di ladang peternakan yang luas untuk memanen gandum, memberi makan ayam dan sapi, dan memerah susu sapi. “Itu pekerjaan berpeluh-peluh”, kata Taufiq. Dari tempat itulah impiannya terbangun untuk menjadi sastrawan dengan mencari nafkah dengan peternakan. “Nanti saya kalau sudah pulang dan berumah tangga, saya akan memiliki sebuah tanah pertanian yang luas seperti ini, kemudian saya akan menanam rumput, beternak memelihara sapi dan ayam, dan membangun rumah lantai tiga lalu di dekat jendela kaca saya duduk mengetik puisi”, kata Taufiq menceritakan impiannya dengan semangat. “Saya ingin menjadi pengusaha peternakan, agar saya bisa menafkahi anak dan istri saya setelah saya berumah tangga,” terangnya.

Karena itulah setelah lulus dari SMA, Taufiq Ismail memilih berkuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor) untuk mewujudkan cita-citanya itu. “Saya bersyukur, orangtua saya tidak mengharuskan saya masuk ke sekolah apa. Dan itu saya terapkan pada anak saya,” cerita Taufiq.

Meskipun Taufiq kuliah di FKHP, ia masih terus menulis dan ikut dalam kegiatan kesusastraan seperti lomba deklamasi. Dari kegiatan sastra inilah dia mengenal banyak sastrawan seperti HB Jassin dan Rendra. “Sastrawan-sastrawan ini berkumpul di Jakarta, jadi saya bolak-balik Bogor Jakarta untuk ikut sehingga saya kenal baik dengan sastrawan,” jelas Taufiq.

Setelah tamat kuliah, Taufiq Ismail juga aktif dalam politik. Ia ikut menandatangani Manifes Kebudayaan pada 1963 yang bertentangan dengan kubu Lekra atau PKI. Karena menandatangani Manifes ini, Taufiq batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida dan dipecat sebagai asisten dosen di IPB. “Jadi hari Jumat saya mestinya berangkat ke Amerika, nah hari Seninnya itu diumumkan di surat kabar bahwa Manifes dilarang oleh Presiden Soekarno. Padahal saya sudah pegang passport dan tiket,” terang Taufiq Ismail.

Dipecatnya Taufiq Ismail dari IPB, membuat impiannya ketika SMA untuk menjadi pengusaha peternakan gagal. “Padahal rencana saya sudah matang. Saya mau buka usaha peternakan di sebuah pulau di Selat Malaka dan udah survey,” terang Taufiq. Namun ia berhasil mewujudkan impiannya yang lain ketika SMA, menjadi sastrawan. “Saya gagal menjadi pengusaha peternakan. Namun, alhamdulillah saya berhasil menjadi sastrawan,” ucap Taufiq.

Oleh HB Jassin, Taufiq Ismail dimasukkan dalam sastrawan angkatan 66. Penggolongannya dalam angkatan 66 menimbulkan sedikit kerisauan dalam dirinya. “Saya risau, jangan-jangan saya terpaku pada angkatan itu. Sementara saya masih mau terus berkarya pada tahun-tahun berikutnya, 10, 20 tahun sesudah itu,” ucap Taufiq. Taufiq tidak ingin karya yang dia buat berpuluh tahun setelah tahun 1966 dimasukkan dalam angkatan 66.

Taufiq Ismail merangkum protesnya terhadap Orde Lama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Tirani dan Benteng. Ia juga menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Malu(Aku) Jadi Orang Indonesia yang berisi protes pada Orde Lama. Ketika ditanya akankah ia menerbitkan buku mengenai jaman reformasi, ia tersenyum, “Waduh, belum. Ini sekarang Keadaan lebih jelek daripada dulu. Tapi saya akan tetap merespon,” jawabnya.

Kembalikan Indonesia Padaku, puisi karya Taufiq Ismail ini sempat dilarang oleh pemerintah. Pembacaan puisi ini untuk lomba juga dilarang di Jawa Tengah. Alasannya, puisi ini dianggap tidak mendukung semangat pembangunan. “Ada suatu pesimesme di dalamnya. Itu sebabnya dilarang,” terang Taufiq.

Menurut Anang Nurasa, guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Cilacap yang pernah mengikuti Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) dengan Taufiq Ismail, menilai Taufiq Ismail adalah seorang penyair yang fenomenal. “Berbicara Taufiq Ismail berarti berbicara sejarah. Puisinya tidak kenal waktu, karena berkaitan dengan sejarah semenjak pemerintahan Presiden Soekarno hingga masa reformasi dan sampai sekarang masih relevan,” tukas Anang.

Tahun 1971, Taufiq menikah dengan Esiyati Yatim, yang merupakan teman adiknya. Dari pernikahnnya, ia mendapatkan seorang putra, Bram. Anang bercerita, Bram tidak terlalu menyukai puisi dan Taufiq sendiri tidak memaksa anaknya untuk kuliah di sastra.

Puisi-puisi Taufiq Ismail tidak hanya sekedar dibaca dan dibukukan. Beberapa puisinya bahkan dinyanyikan oleh Bimbo, Ian Antono, hingga Gita Gutawa. Berawal dari tahun 1972, ketika Pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Saat itu. Ramadhan K.H., sekretaris Pelaksana Dewan Kesenian Jakarta mengajukan gagasan agar sebuah grup musik menyanyikan sajak penyair untuk dipentaskan dalam acara Pertemuan Sastrawan tersebut. Gagasan itu disetujui dan dipilihlah Bimbo untuk menyanyikan sajak dari penyair. Sam Bimbo sendiri memilih untuk menyanyikan sebuah puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul Dengan Puisi, Aku. Kejadian itulah yang memulai kerja sama Taufiq Ismail dengan Himpunan Musik Bimbo. Taufiq menuliskan lirik untuk mereka dengan tema yang dibicarakan bersama. Beberapa puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan musisi antara lain Dunia Ini Panggung Sandiwara, Lebaran Sebentar Lagi, Pintu Sorga, dan Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Kerjasama dengan para musisi ini, telah menghasilkan sekitar 96 lagu hingga tahun 2008.

Tahun 2008 lalu, Taufiq mengeluarkan buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit yang berisi karyanya sejak tahun 1953 hingga 2008. Buku tersebut menandakan kiprah Taufiq selama 55 tahun dalam bidang sastra. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit sendiri terbagi menjadi empat jilid yaitu Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 kumpulan puisi, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2 kumpulan prosa, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3 kumpulan prosa, dan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 kumpulan lirik lagu.

Kecintaannya pada sastra telah memberikannya sejumlah penghargaan seperti Anugerah Seni dari Pemerintah RI pada 1970, South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 1994, Anugerah Habibie Award dalam Sastra tahun 2007. Taufiq Ismail juga memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dalam Pendidikan Sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003 dan gelar Doctor Honoris Causa dalam Sastra dan Budaya dari Universitas Indonesia tahun 2009.

Taufiq Ismail juga membantu LSM Geram (Gerakan Anti Madat) dalam kampanye anti narkoba dengan menulis puisi dan lirik lagu yaitu Genderang Perang Melawan Narkoba dan Himne Anak Muda Keluar dari Neraka. Dalam kegiatan ini, Taufiq bersama 4 tokoh masyarakat lain mendapat anugerah dari Presiden Megawati Sukarnoputi tahun 2002. Tak hanya itu, Taufiq juga membantu Yayasan Lembafa Konsumen Indonesia dalam kampanye anti nikotin dengan membacakan puisinya tentang bahaya asap rokok dalam kumpulan sajak Tuhan Sembilan Senti.

Taufiq Ismail bersama sastrawan lain melakukan Gerakan Sastra Horison sejak tahun 1998, dalam usaha majalah sastra Horison untuk meningkatkan budaya membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di sekolah. Kegiatan dari gerakan tersebut seperti program MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) untuk guru, melakukan SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya), dan menyalurkan tulisan siswa dan guru dalam sisipan Kakilangit dalam majalah sastra Horison. Program yang dilaksanakan sejak 1998 hingga 2008 ini, akan terus berjalan seperti yang ditegaskan Taufiq Ismail. “Oh, pasti program ini akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya,” tegas Taufiq.

Taufiq lalu menghimpun kegiatan dalam Gerakan Sastra Horison pada sebuah Rumah Puisi. Rumah Puisi yang berada di Nagari Ai Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumetera Barat ini didikan Desember 2008 lalu dengan modal awal 7.000 judul buku. Sebelumnya, Taufiq mendapatkan Habibie Award dalam bidang Sastra pada 2007, yang kemudian uang hadiah tersebut digunakan untuk membangun Rumah Puisi ini. Dalam Rumah Puisi tersebut terdapat beberapa kegiatan seperti Pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, membaca dan berlatih menulis siswa Sanggar Sastra, dan apresiasi sastra Indonesia dan Minangkabau. Istrinya, Esiyati Yatim, ikut membantu Taufiq mengurus Rumah Puisi yang didirikannya ini. “Dia yang jadi motornya, sehingga bisa membangun Rumah Puisi,” tukas Taufiq.

Kini, Taufiq Ismail tengah sibuk menguruh Rumah Puisi-nya yang didikiran di Nagari Ai Angek, Sumatera Barat. “Secara teoritis, saya dua minggu di Sumatera Barat, dua minggu di Jakarta,” terang Taufiq. Selain itu, pria yang ikut mendirikan Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta dan majalah sastra Horison ini, menjabat sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service International Scholarships, Amerika Serikat.
Orangtuanyalah yang dinilai Taufiq paling berjasa dalam hidupnya. “Merekalah yang memberi contoh pada saya supaya saya membaca buku,” ucap Taufiq. Guru-gurunya pun berjasa dalam hidupnya, terutama Mrs. Clara Czarkowski, gurunya ketika di Whitefish Bay High School yang mengenalkan Taufiq pada sastra dunia.

Anang menilai, Taufiq Ismail merupakan sosok yang religius. “Dia tumbuh dalam lingkungan pendatang tetapi islami dan orangtuanya menanamkan nilai-nilai islami dan budaya membaca,” ujar guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang mendapat julukan “Madurasa” dari Taufiq Ismail ini. Sedangkan Taufiq sendiri menilai dirinya adalah puisi yang dia tulis. Apa yang dilihat dan dirasakannya dituangkan dalam puisi. “Ekspresi diri saya itu bisa dilakukan dengan penuh di dalam puisi,” ujar Taufiq Ismail.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments