Sastrawan, Impian yang Tercapai

Oleh Eka Merdekawati K.S.


“Saya menemukan bahwa puisi menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan perasaan saya. Saya berdoa pada Allah, kalau saya dikaruniai umur panjang, saya akan terus berkarya”, ujar Taufiq Ismail pelan namun pasti. Keinginannya untuk terus menulis bukanlah untuk sebuah hobi, namun dengan menulis puisi, ia bisa menulis apa saja yang dia lihat dan rasakan.

Taufiq Ismail dibesarkan dalam keluarga guru. Sang ayah, A. Gaffar Ismail dan ibunya, Timur M. Nur, merupakan guru. Orangtuanya aktif dalam kegiatan kemerdekaan Indonesia. Keaktifan ayahnya dalam kegiatan itulah yang membuat ayah Taufiq dibuang ke Pekalongan. Taufiq Ismail sendiri lahir di Bukittingi, 25 Juni 1935, anak kedua dari enam bersaudara.

Perkenalan Taufiq dengan sastra dimulai dengan hobinya yang gemar membaca. Kedua orangtuanya memiliki banyak buku dan juga gemar membaca. Hobi orangtuanya inilah yang menurun pada Taufiq. Sebulan sekali, ayahnya membelikan buku untuk Taufiq. Novel pertama yang dibaca Taufiq Ismail adalah Tak Putus Dirudung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang dibacanya ketika kelas 3 Sekolah Rakyat.

Taufiq sendiri melewati masa sekolahnya di sekolah rakyat dengan berpindah-pindah. Dia bersekolah di sekolah rakyat Solo, kemudian berpindah-pindah ke Semarang, Salatiga, dan tamat di Yogyakarta. Memang sejak jaman pendudukan Jepang, Taufiq mengikuti orangtuanya yang sering berpindah kota.

Ketika jaman penjajahan Jepang itulah ayah Taufiq menjadi seorang wartawan di Sinar Baru dan menulis tajuk rencana. Membaca tulisan ayahnya di koran inilah membuat Taufiq terkagum-kagum dan berpikir bagaimana caranya membuat tulisan yang panjang. Ibunya juga menulis puisi dan pantun dalam majalah pergerakan perempuan. Hal ini memberikan pengaruh yang besar bagi Taufiq Ismail. “Saya ingin meniru mereka,” ucap Taufiq. Puisi pertamanya yang dimuat dalam koran Sinar Baru dibuat ketika Taufiq masih sekolah di sekolah rakyat. Perasaan bangga dan senang tak terbendung dalam dirinya.

Ketika SMA di Pekalongan, Taufiq dan teman-temannya berlomba untuk mebuat tulisan di media massa. Ia dan teman-temannya meminjam buku dari perpustakaan kota, lalu membaca dan mendiskusikan buku-buku yang dipinjamnya. Keinginannya saat itu adalah tulisannya bisa dimuat di surat kabar Jakarta karena pada saat itu, jika tulisan dimuat dalam media massa terbitan Jakarta berarti orang itu hebat. Tulisannya ketika SMA sempat dimuat dalam majalah Kisah. Kegemaran Taufiq akan membaca buku inilah yang membuatnya bercita-cita menjadi sastrawan ketika SMA.

Di SMA pula, Taufiq Ismail mendapatkan beasiswa dari American Field Service International Scholarships 1956-1957 untuk belajar di Milwaukee, Winconsin. Di sana, Taufiq bersekolah di Whitefish Bay High School, dan mendapatkan pelajaran sastra yang berbeda dengan di Indonesia. “Lainnya itu, kau harus banyak membaca buku dan kemudian didiskusikan di kelas,” ujar Taufiq. Tak jarang, ia harus membaca buku sebanyak 50 halaman per hari.

Saat liburan musim semi, Taufiq ditawari pekerjaan di ladang peternakan yang luas untuk memanen gandum, memberi makan ayam dan sapi, dan memerah susu sapi. “Itu pekerjaan berpeluh-peluh”, kata Taufiq. Dari tempat itulah impiannya terbangun untuk menjadi sastrawan dengan mencari nafkah dengan peternakan. “Nanti saya kalau sudah pulang dan berumah tangga, saya akan memiliki sebuah tanah pertanian yang luas seperti ini, kemudian saya akan menanam rumput, beternak memelihara sapi dan ayam, dan membangun rumah lantai tiga lalu di dekat jendela kaca saya duduk mengetik puisi”, kata Taufiq menceritakan impiannya dengan semangat. “Saya ingin menjadi pengusaha peternakan, agar saya bisa menafkahi anak dan istri saya setelah saya berumah tangga,” terangnya.

Karena itulah setelah lulus dari SMA, Taufiq Ismail memilih berkuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor) untuk mewujudkan cita-citanya itu. “Saya bersyukur, orangtua saya tidak mengharuskan saya masuk ke sekolah apa. Dan itu saya terapkan pada anak saya,” cerita Taufiq.

Meskipun Taufiq kuliah di FKHP, ia masih terus menulis dan ikut dalam kegiatan kesusastraan seperti lomba deklamasi. Dari kegiatan sastra inilah dia mengenal banyak sastrawan seperti HB Jassin dan Rendra. “Sastrawan-sastrawan ini berkumpul di Jakarta, jadi saya bolak-balik Bogor Jakarta untuk ikut sehingga saya kenal baik dengan sastrawan,” jelas Taufiq.

Setelah tamat kuliah, Taufiq Ismail juga aktif dalam politik. Ia ikut menandatangani Manifes Kebudayaan pada 1963 yang bertentangan dengan kubu Lekra atau PKI. Karena menandatangani Manifes ini, Taufiq batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida dan dipecat sebagai asisten dosen di IPB. “Jadi hari Jumat saya mestinya berangkat ke Amerika, nah hari Seninnya itu diumumkan di surat kabar bahwa Manifes dilarang oleh Presiden Soekarno. Padahal saya sudah pegang passport dan tiket,” terang Taufiq Ismail.

Dipecatnya Taufiq Ismail dari IPB, membuat impiannya ketika SMA untuk menjadi pengusaha peternakan gagal. “Padahal rencana saya sudah matang. Saya mau buka usaha peternakan di sebuah pulau di Selat Malaka dan udah survey,” terang Taufiq. Namun ia berhasil mewujudkan impiannya yang lain ketika SMA, menjadi sastrawan. “Saya gagal menjadi pengusaha peternakan. Namun, alhamdulillah saya berhasil menjadi sastrawan,” ucap Taufiq.

Oleh HB Jassin, Taufiq Ismail dimasukkan dalam sastrawan angkatan 66. Penggolongannya dalam angkatan 66 menimbulkan sedikit kerisauan dalam dirinya. “Saya risau, jangan-jangan saya terpaku pada angkatan itu. Sementara saya masih mau terus berkarya pada tahun-tahun berikutnya, 10, 20 tahun sesudah itu,” ucap Taufiq. Taufiq tidak ingin karya yang dia buat berpuluh tahun setelah tahun 1966 dimasukkan dalam angkatan 66.

Taufiq Ismail merangkum protesnya terhadap Orde Lama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Tirani dan Benteng. Ia juga menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Malu(Aku) Jadi Orang Indonesia yang berisi protes pada Orde Lama. Ketika ditanya akankah ia menerbitkan buku mengenai jaman reformasi, ia tersenyum, “Waduh, belum. Ini sekarang Keadaan lebih jelek daripada dulu. Tapi saya akan tetap merespon,” jawabnya.

Kembalikan Indonesia Padaku, puisi karya Taufiq Ismail ini sempat dilarang oleh pemerintah. Pembacaan puisi ini untuk lomba juga dilarang di Jawa Tengah. Alasannya, puisi ini dianggap tidak mendukung semangat pembangunan. “Ada suatu pesimesme di dalamnya. Itu sebabnya dilarang,” terang Taufiq.

Menurut Anang Nurasa, guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Cilacap yang pernah mengikuti Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) dengan Taufiq Ismail, menilai Taufiq Ismail adalah seorang penyair yang fenomenal. “Berbicara Taufiq Ismail berarti berbicara sejarah. Puisinya tidak kenal waktu, karena berkaitan dengan sejarah semenjak pemerintahan Presiden Soekarno hingga masa reformasi dan sampai sekarang masih relevan,” tukas Anang.

Tahun 1971, Taufiq menikah dengan Esiyati Yatim, yang merupakan teman adiknya. Dari pernikahnnya, ia mendapatkan seorang putra, Bram. Anang bercerita, Bram tidak terlalu menyukai puisi dan Taufiq sendiri tidak memaksa anaknya untuk kuliah di sastra.

Puisi-puisi Taufiq Ismail tidak hanya sekedar dibaca dan dibukukan. Beberapa puisinya bahkan dinyanyikan oleh Bimbo, Ian Antono, hingga Gita Gutawa. Berawal dari tahun 1972, ketika Pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Saat itu. Ramadhan K.H., sekretaris Pelaksana Dewan Kesenian Jakarta mengajukan gagasan agar sebuah grup musik menyanyikan sajak penyair untuk dipentaskan dalam acara Pertemuan Sastrawan tersebut. Gagasan itu disetujui dan dipilihlah Bimbo untuk menyanyikan sajak dari penyair. Sam Bimbo sendiri memilih untuk menyanyikan sebuah puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul Dengan Puisi, Aku. Kejadian itulah yang memulai kerja sama Taufiq Ismail dengan Himpunan Musik Bimbo. Taufiq menuliskan lirik untuk mereka dengan tema yang dibicarakan bersama. Beberapa puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan musisi antara lain Dunia Ini Panggung Sandiwara, Lebaran Sebentar Lagi, Pintu Sorga, dan Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Kerjasama dengan para musisi ini, telah menghasilkan sekitar 96 lagu hingga tahun 2008.

Tahun 2008 lalu, Taufiq mengeluarkan buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit yang berisi karyanya sejak tahun 1953 hingga 2008. Buku tersebut menandakan kiprah Taufiq selama 55 tahun dalam bidang sastra. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit sendiri terbagi menjadi empat jilid yaitu Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 kumpulan puisi, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2 kumpulan prosa, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3 kumpulan prosa, dan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 kumpulan lirik lagu.

Kecintaannya pada sastra telah memberikannya sejumlah penghargaan seperti Anugerah Seni dari Pemerintah RI pada 1970, South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 1994, Anugerah Habibie Award dalam Sastra tahun 2007. Taufiq Ismail juga memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dalam Pendidikan Sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003 dan gelar Doctor Honoris Causa dalam Sastra dan Budaya dari Universitas Indonesia tahun 2009.

Taufiq Ismail juga membantu LSM Geram (Gerakan Anti Madat) dalam kampanye anti narkoba dengan menulis puisi dan lirik lagu yaitu Genderang Perang Melawan Narkoba dan Himne Anak Muda Keluar dari Neraka. Dalam kegiatan ini, Taufiq bersama 4 tokoh masyarakat lain mendapat anugerah dari Presiden Megawati Sukarnoputi tahun 2002. Tak hanya itu, Taufiq juga membantu Yayasan Lembafa Konsumen Indonesia dalam kampanye anti nikotin dengan membacakan puisinya tentang bahaya asap rokok dalam kumpulan sajak Tuhan Sembilan Senti.

Taufiq Ismail bersama sastrawan lain melakukan Gerakan Sastra Horison sejak tahun 1998, dalam usaha majalah sastra Horison untuk meningkatkan budaya membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di sekolah. Kegiatan dari gerakan tersebut seperti program MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) untuk guru, melakukan SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya), dan menyalurkan tulisan siswa dan guru dalam sisipan Kakilangit dalam majalah sastra Horison. Program yang dilaksanakan sejak 1998 hingga 2008 ini, akan terus berjalan seperti yang ditegaskan Taufiq Ismail. “Oh, pasti program ini akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya,” tegas Taufiq.

Taufiq lalu menghimpun kegiatan dalam Gerakan Sastra Horison pada sebuah Rumah Puisi. Rumah Puisi yang berada di Nagari Ai Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumetera Barat ini didikan Desember 2008 lalu dengan modal awal 7.000 judul buku. Sebelumnya, Taufiq mendapatkan Habibie Award dalam bidang Sastra pada 2007, yang kemudian uang hadiah tersebut digunakan untuk membangun Rumah Puisi ini. Dalam Rumah Puisi tersebut terdapat beberapa kegiatan seperti Pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, membaca dan berlatih menulis siswa Sanggar Sastra, dan apresiasi sastra Indonesia dan Minangkabau. Istrinya, Esiyati Yatim, ikut membantu Taufiq mengurus Rumah Puisi yang didirikannya ini. “Dia yang jadi motornya, sehingga bisa membangun Rumah Puisi,” tukas Taufiq.

Kini, Taufiq Ismail tengah sibuk menguruh Rumah Puisi-nya yang didikiran di Nagari Ai Angek, Sumatera Barat. “Secara teoritis, saya dua minggu di Sumatera Barat, dua minggu di Jakarta,” terang Taufiq. Selain itu, pria yang ikut mendirikan Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta dan majalah sastra Horison ini, menjabat sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service International Scholarships, Amerika Serikat.
Orangtuanyalah yang dinilai Taufiq paling berjasa dalam hidupnya. “Merekalah yang memberi contoh pada saya supaya saya membaca buku,” ucap Taufiq. Guru-gurunya pun berjasa dalam hidupnya, terutama Mrs. Clara Czarkowski, gurunya ketika di Whitefish Bay High School yang mengenalkan Taufiq pada sastra dunia.

Anang menilai, Taufiq Ismail merupakan sosok yang religius. “Dia tumbuh dalam lingkungan pendatang tetapi islami dan orangtuanya menanamkan nilai-nilai islami dan budaya membaca,” ujar guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang mendapat julukan “Madurasa” dari Taufiq Ismail ini. Sedangkan Taufiq sendiri menilai dirinya adalah puisi yang dia tulis. Apa yang dilihat dan dirasakannya dituangkan dalam puisi. “Ekspresi diri saya itu bisa dilakukan dengan penuh di dalam puisi,” ujar Taufiq Ismail.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Kelompok feti saya yang menyenangkan

Semester lima akan segera berakhir. Dan saya harap nilai saya bagus.. ahaha
Well, dari semua tugas yang ada di semester ini ada dua tugas yang bikin saya benar-benar menikmatinya. Pertama, tugas menulis feature tokoh. Kedua, tugas feature televisi. Kenapa?

Well, tugas menulis feature tokoh bikin saya ketemu idola saya. Ya, saya wawancara idola saya untuk feature tokoh ini. Taufiq Ismail. Nama itu idola saya itu terlintas pertama kali saat pemberian tugas ini. Entah mengapa saya ingin mewawancarai. Saya tahu dia pasti sibuk, namun saya berkeras untuk mewawancarainya. Alhamdulillah, saya berhasil bertemu dengannya dan mewawancarainya.

Tugas paling seru adalah tugas feature televisi. Kenapa? Saya dan lima orang teman lain, ini tugas kelompok, mengerjakan bersama. Saya, ana, ike, eca, diana, jakah. Dan kami sangat kompak. Well, dari awal nenetuin tema sampe nyusun rundown, kami barengan gtu.. Malem2 kumpul di kosan anbel buat ngomongin ini.

Iuran pun kami lakuin buat ngejalanin tugas ini. Cari peralatan buat syuting, mule dari kamera MD, tripod, lighting, kita cari. Walopun akhirnya ga jadi sewa karna mahal banget. Cari narasumber dan sebagainya.

Tanggal 5 Desember 2009, kami mulai syuting pake mobil eca dengan peralatan yang Pertama adalah syuting narasumber di ciwidey. Berangkat jam 11 dan selese syuting di sana jam 4an. Lanjutlah kita ke Dago buat bikin janji sama narasumber lain. Wuiiiihhh itu mah dari ujung ke ujung Bandung diselingi makan malah di pinggir jalan di Dago. Seharian itu, kita selesai jam 9 malem.

Tanggal 6 Desember 2009, kita semua minus Ike, pergi ke parakan muncang buat ketemu narasumber yang bernama Abah Olot. Tapi, orangnya ga ada. Jadilah kita kebingungan dan akhirnya ketemu rein buat ngomongin konsep grafis dan ke komunitas asal sada untuk wawancara. Hari itu selesai malem juga.

Lanjut, kita syuting haru Rabu sore, 9 Desember 2009 di sekolah taman ilmu, minus Eca. Kita naik ojek sambil bawa2 handycam dua biji, tripod 2, kamera SLR, dan satu tas besar yang isinya lighting dan jajan. Pulangnya, kami kebingungan. Gak ada ojek dan letak sekolah itu lumayan jauh juga dari jalan raya. Untungnya ada mobil bak terbuka yang lewat. Jadilah kita berlima ikut nebeng mobil itu di baknya. Dan itu sangat seru dan menyenangkan.

Syuting ternyata ga beres juga hari itu, Kita lanjutin syuting esok harinya, tgl 10 Desember 2009. Kali ini hanya ada aku, ike, dan ana. Kami bertiga ketemu dimas yang juga lagi ada urusan di sekolah itu. Kami bertiga syuting sambil ngatur anak2 yang ampun dahh, pecicilan banget. Kemarin berlima aja kita kewalahan, apalagi ini cuma bertiga. Syuting bagian akhir sedikit bikin kita kesel. Salah satu talent dah hampir pundung mo pulang aja gara2 kelamaan. Tapi ana berhasil mencegah anak itu pulang. Jam 5 lebih syuting bener2 selese diakhiri bagi2 jajan. Yeeeaaaahhhh.....!!!

Hari sabtu,, kita rapat buat syuting presenter. Jam 8 malem ketika saya baru sampe kos, saya di sms untuk kumpul buat rapat. Tanpa pikir panjang, saya kemasi baju saya dan pergi rapat sekaligus nginep di tempat ana. Malem itu juga kita ketemu sama Citra, presenter acara feature kita.

Minggu, 13 Desember 2009, jam 9 pagi kita berangkat ke restauran de Tuik di bojongkoneng. Saya, eca, diana, ike, ana, jakah, dan citra. Kali ini pake mobil pinjaman dari Nung, karena mobil eca gak cukup buat kita bertujuh, hehhe... Ternyata de Tuik itu jauh juga... sebenernya deket caheum, tapi jalannya naik banget dan jauh..

Sampe de Tuik kita langsung syuting presenter karena beberapa hari sebelumnya diana ma eca dah minta ijin. Giliran makan siang, kita semua makan kecuali ana. Lanjut syuting lagi bagian komunitas galengan sama pembuatan karinding. Berhubung saya bendahara kelompok ini, maka sayalah yang disodori bon makan anak2. Dan harganya bikin uang kas terkuras. Haahahah,,Rp 238.750,00. awalnya saya sempet takut uangnya ga cukup, tapi ternyata cukup kok.. Malemnya di kosan ana, saya tagih uang makan mereka di de Tuik buat ganti uang kas dan bikin kita histeris. Ternyata per orangnya kalo diitung makannya di atas Rp 25.000,00 semua (kecuali ana yg cuma 10ribu). Dan itu bikin yang ngantuk kyk eca ma ike langsung bangun. Dan bikin ana ketawa puas banget. Sedangkan diana ngomel2. HAHAHAHAHHAHAHAHA......

Editing sendiri dimulai dari hari kamis. Sebenernya dari rabu sore, saya, eca, ma ana ke cileunyi buat nyari tempat transfer video. Tapi lagi ga bisa di sana. Rabu sore baru deh saya ma ana nemu tempat transfer setelah eca pulang. Ahahahahah..

Kamis malem, 17 Desember, di kosan ana, saya ma ana ambil hasil transferan video dan ternyata itu ga dipotong2. Malem itu, saya dan ana ditemani jakah motong2 video sambil nontonin apa aja yang dah kita syuting.

Jumat siang sampe malem, saya, ana, eca, jakah benar2 mule ngedit. Kami bagi2 buat ngedit. Vegas dan Premiere kami pilih buat ngedit. Cukup lucu juga dalam penentuan program ngedit ini. Saya dan ana bisa pake premiere sedangkan eca bisa pake vegas. Ana mule ngutik2 vegas buat ngedit, sedangkan saya ngedit langsung di premiere dan eca ngasih arahan ngedit ke saya. Masalah ngedit kami satu, rundown yang gak lengkap. Kami sedikit bingung buat bikin susunan acara saat ngedit ini, Eca sebagai produser sempet kesel dikit. Dan kami para editor memutuskan bikin sesuai rundown yang ada dengan sedikit perubahan yang kami sepakati. (sebenernya kami ini editor ato editor yang merangkap script writer sih? heheh).

Sorenya, jakah ma eca cabut ke bandung buat wawancara orang, karena dari hasil video yang saya edit, ada ketidakcocokan dengan fakta. Makanya mereka pergi untuk ngedapetin fakta itu, sedangkan ana pergi ke warnet buat nyari backsound acara ini, dan saya tetap diam di kosan ana buat ngedit video, namun akhirnya saya tidur juga dan baru bangun sesaat sebelum mereka pulang. Selesai ngedit malem itu jam 11 kurang, saya pulang pun nebeng si eca..

Sabtu, setelah saya wawancara dan nyebar angket, jam 8 malem, kami semua kumpul di kosan anbel. Kami berenam. Ya, kami mau ngedit. Saya, eca, dan ana menghadap monitor dan konsentrasi mengedit sampe akhirnya kami berenam bosan. Jam 10 malem kami memutuskan untuk pergi ke Jatos dan berkaraoke ria (boleh ditiru saat dikejar deadline dan stress). Sekitar jam 12 malem kami balik lagi ke kosan ana. Dan lanjut lagi ngeditnya. Jam 2 pagi yang bertahan melek hanya saya, ana, eca, dan jakah. Ngedit masih stabil. diselingi becandaan, diselingi nyanyi2 lagu anak2 waktu kita masih kecil.

Jam 3 pagi yang bertahan hanya para editor, saya, eca, ana. Suasana tenang. Masing2 konsen ke editing. Jam 4 pagi, kami masih menghadap monitor dan tekun mengedit. eca bolak balik ngarahin saya dan ana untuk kasih tau bagian mana aja yang diedit. Setengah 5 pagi, masih tenang, saya solat. Selesai solat, eca dah tidur. Tinggal saya dan ana. Dan keisengan saya muncul. Saya foto deh tuh 4 anak yang tidur berjejer kayak pepes, heheheh...
Ana : "La, lo berenti ngedit dulu aja. Sini nonton video korea"
Saya : "Nanggung na"

Jam 7 pagi, saya dan ana masih ngedit ketika anak2 baru bangun. Ike, diana, jakah memutuskan untuk pergi ke Pasar Unwim jam 8 kurang dan kita para editor nitip sarapan.
Eca :"La, lo ga nonton doraemon?"
Saya : "Oia, sekarang minggu ya" (pindah channel ke doraemon)
Sambil nonton doraemon, saya ngedit. Kali ini editing fokus ke laptop saya, semuanya dijadiin satu di laptop saya pake Premiere. Dan Premierenya not responding. Berhubung kita capek, jadilah kita tiduran ngadep tipi dengan posisi ana ada di kasur sedangkan saya dan eca kepalanya doang yang di kasur. Doraemon selese dan kita ketiduran.

Jam setengah 10 baru deh kita bangun gara ike, jakah, diana balik dari pasar dam berisik. Dan Premiere masih aja not responding. Jsdilah kita ulang editing yang not responding itu.

Editing kita lanjutin. Jam 2 siang saya pergi ke bandung karena ortu ma adek saya dateng. Balik lagi ke kosan ana jam 7 malem. Ternyata masih belum selesai editing sodara2. Ahahaha... jadi saya ngedit algi yang belum beres itu. Jam 10 baru deh semuanya beres, Tinggal rendering aja. sambil nunggu kita main truth or dare dan it was fun.....!!!!

Senin pagi, saat saya mengecek hasil rendering yang mpeg1, ternyata gambarnya pecah dan mpeg2 ga ada suara dan suara narator masih kalah sama suara backsound. Jadilah eca bilang kita harus ketemu di tempat ana. Jam 9 pagi saya masih ngedit dan ngerender bagian closing dan bagian narator itu. Karena bingung pake format apa, jadilah saya memutuskan untuk langsung dirender dari premiere ke DVD, dan ternyata bisa. hehehehe.... Tugas kami selamat dan tepat waktu..

Dan saya senang di tugas feti ini. Saya sekelompok dengan teman2 yang menyenangkan. Yang kompak dan selalu mau membantu yang lainnya. Ya, kita doyan banget becanda. Bahkan saat jalan liputan dan ngedit pun kita becanda mulu. Itu bagian untuk ngurangin stres, hehehe... Dan kita bakal satu kelompok lagi di jurnalisme televisi teman2.. Kita liputan dan ngedit bareng lagi yaaaa.....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Ani Rohaeni: Perintis Cireng Isi

Cireng merupakan kependekan dari aci digoreng. Cireng adalah jajanan khas Bandung yang terbuat dari aci yang digoreng dengan oncom di dalamnya.. Cireng bukanlah jajanan yang sulit untuk didapatkan. Biasanya cireng dijual bersama dengan gorengan lain. Cireng ini biasanya berisi oncom. Tidak sedikit penggemar cireng ini. Bukan hanya anak-anak saja, tetapi orang dewasa juga menyukai jajanan yang satu ini.
Berawal dari coba-coba, Ani Rohaeni sukses menekuni bisnis cireng isi. Hasilnya, cireng buatannya menjadi favorit masyarakat Bandung bahkan dari luar kota Bandung. Cireng buatannya yang diberi nama Cireng Rampat ini mudah ditemui di Bandung sehingga memudahkan para penggemar cireng untuk menikmati cireng buatannya. Hampir di seluruh penjuru Bandung, terdapat gerai yang menjual cireng isi produksi Cireng Rampat ini. Bahkan, Cireng Rampat ini telah dijual hingga ke luar kota Bandung.
Cireng Rampat itu sendiri sudah dipatenkan namanya oleh Ani Rohaeni dan telah mendapat ijin dari Departemen Kesehatan. Jadi, masyarakat tidak perlu ragu untuk memakan cireng isi buatan Ani ini.
Yang membuat cireng buatannya berbeda dengan cireng lain adalah isi yang dari cireng buatannya. Ia memberikan sosis, bakso, daging ayam, daging sapi, keju, kornet, dan kacang sebagai isi dari cireng buatannya. Masyarakat dapat menikmati 8 rasa dari cireng buatannya ini.
Awalnya, ibu dua anak ini yang berjualan cireng di depan rumahnya. Dia berjualan cireng hanya untuk menyambung hidup keluarganya. Tetapi usaha itu kini dapat memberi makan banyak orang. Dengan keuntungan yang besar, dia dapat membantu banyak orang dengan mempekerjakan orang-orang di dapurnya.
Apa saja rahasia sukses darinya? Bagaimana dia menjalankan bisnisnya? Berapa modal yang dikeluarkan? Berapa banyak karyawan dan cabang yang dimilikinya? Berapa keuntungan usaha Cireng Rampat ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Eka Merdekawati K.S. mewawancarai Ani Rohaeni, pemilik Cireng Rampat dan perintis cireng di Bandung di pusat Cireng Rampat, Jalan Cemara no. 50 pada Sabtu (29-11-2008) siang. Ibu dua anak yang tamat SMA ini menceritakan tentang usahanya mulai dari awal berdiri hingga sekarang.

Berikut petikan wawancaranya:
Usaha cireng rampat ini sejak kapan?
Kita rintis dari awal saya keluar kerja. Dulu saya kerja di salah satu restoran internasional. Saya gak langsung ke cireng. Saya usaha cireng untuk menutupi biaya hidup, saya punya anak dua. Saya merintis usaha cireng dari 92, dengan harapan untuk memperpanjang hidup. Saya keluar kerja tahun 91. Dari situ kita coba-coba bikin cemilan dari adonan aci. Kemudian saya berpikir untuk membentuk adonan aci seperti combro. Akhirnya saya mencoba dan saya mendapatkan satu gumpalan aci yang bisa dibentuk. Dari situ saya membuat cireng isi sambal kacang. Awalnya membuat seperempat sampai berkarung-karung.
Nah, dari situ saya mempunyai tujuan untuk merekrut tetangga saya karena di lingkungan saya banyak pengangguran. Dari yang tidak punya kegiatan menjadi punya kegiatan, dari yang tidak punya income menjadi punya income dengan bekerja di sini. Saya ingin menolong mereka yang putus sekolah, yang tidak punya orang tua. Mungkin dari situ mukjizat datang untuk saya, sehingga saya bisa merekrut orang untuk bekerja di sini. Kebanyakan karyawan di sini mereka yang putus sekolah atau yang tidak punya orang tua. Karena itulah tujuan kita. Tujuan utama saya itu saja, menyambung hidup dan menolong orang. Kemudian saya mulai untuk mengkreasikan bentuk dan isi dari cireng ini satu persatu.
Sekarang ini kan banyak yang meniru, sementara saya kan yang merintis, menemukan, menciptakan cireng, itu kan tidak mudah. Sedangkan mereka hanya meniru cireng isi ini. Usaha saya ini berjalan dari bawah tanpa saya sadari menjadi seperti ini. Tanpa ambisi, karena memang niat saya untuk menolong orang.

Nama Rampat sendiri memiliki arti apa?
Rampat itu nama anak- anak saya. Ramdhani dan Patria. Anak saya dua. Dari nama dua anak itu saya satukan. Memang kalau orang Sumatra bilang Rampat itu tempat rekreasi yang terkenal. Namanya Rajanya Ampat. Jadi, orang banyak yang mengira saya dari Sumatra. Ya, semua ini berjalan kebetulan, ingat cireng, ingat rampat. Banyak cireng yang lain meniru dari ini.

Seperti Cirengkoe?
Kalau Cirengkoe itu masih satu produk dari sini. Masih produk rampat. Cirengkoe itu ambil barang dari sini. Tapi kalau produk lain itu meniru dari sini. Mereka nama berbeda, tapi di bawah nama mereka ada tulisan produk rampat. Tapi dengan banyaknya penjiplak bukan menjadi penghalang bagi saya, itu menjadi cambuk bagi saya untuk menolong orang lebih banyak lagi.

Modal awal dari usaha ini berapa?
Modal awalnya nggak besar, ya. Dulu saya kan baru keluar kerja, anak-anak juga masih kecil. Modal usaha ini Rp 15.000,00. Tapi itu kan sebelum moneter, sekarang uang segitu untuk belanja ya nggak cukup. Dulu dengan uang segitu kan bisa dapat banyak bahan untuk membuat cireng. Sekarang repot banget. Alhamdulillah rejeki yang saya dapat bermanfaat bagi ribuan orang. Ada mitra yang bergabung untuk kerja sampingan dengan saya menjadi maju sehingga membuat saya mempunyai kenikmatan sendiri dan akhirnya mereka meninggalkan kerjaan utama mereka.

Ini sistemnya waralaba?
Bukan ini sistem beli-putus.

Seperti apa sistem beli-putus itu?
Jadi kalau misalnya ada mitra yang mau bergabung dari Bandung cukup memberikan uang administrasi Rp 500.000,00 untuk royalti. Kami berhak untuk mendapatkan royalti karena kami punya hak paten, ijin Depkes, dan NPWP. Dengan adanya itu kita berhak mendapat royalti. Uang itu juga dialokasikan untuk mendapatkan banner, bonus 50 potong cireng, dan harga minimum dari sini untuk dijual kembali. Kalau dari luar kota bayar uang sebesar 2juta rupiah. Yang 1 juta untuk administrasi dan yang satu juta lagi untuk uang deposit yang digunakan untuk belanja bikin cireng ini. Nanti kalau uang deposit habis, mereka kirim uang lagi untuk deposit. Jadi kayak kita beli pulsa.

Sejak kapan cireng rampat ini dipatenkan?
Sekitar 2007. Masih baru, semuanya masih baru. Makanya saya kalau ditanyakan keuntungan saya malu, karena masih banyak keperluan yang tidak terduga yang harus dilengkapi terus menerus karena kita belum punya fasilitas yang memadai.

Setelah dipatenkan, mitra semakin banyak, ya?
Iya, Alhamdulillah. Nggak muluk2 saya, asalkan kita masih bisa makan. Pas-pasan aja. Pas kita mau beli rumah, pas ada, pas mau beli makan, pas ada. Hahaha….

Sejak kapan sistem beli-putus ini berjalan?
Mungkin dari 1997. Tapi dulu belum ada uang administrasi karena kita belum ada lisensi. Yang ada uang deposit sebesar Rp 325.000,00. Yang Rp 25.000,00 digunakan untuk spanduk karena dulu belum ada banner. Yang Rp 300.000,00 untuk saldo mitra. Sekarang karena sudah ada hak paten jadi dikenakan biaya administrasi Rp 500.000,00 dari dalam kota dan satu juta rupiah dari luar Bandung.

Jadi gerainya mereka punya sendiri?
Ya, betul. Kita hanya menggunakan sistem beli-putus saja.

Ada berapa mitra sampai saat ini?
Lebih dari seratus.

Itu dalam dan luar bandung?
Iya. Kapolda Makasar saja beli cireng dari sini. Di Batam juga ada yang beli dari sini. Lampung juga. Tapi cireng itu untuk konsumsi mereka. Kalau pengiriman cireng untuk dijual lagi, baru sampai Sukabumi, Jakarta, Bogor, yang masih terjangkau dari Bandung. Kemingkinan awal tahun 2009 kita akan buka produksi di Malang. Karena kalau dikirim dari sini takut rusak di jalan, dan juga kan cireng tahan dua hari. Jadi dibikin hari ini, harus habis besok.



Sejak awal anda jualan di sini?
Enggak. Awalnya di belakang sana, di teras rumah. Masih di jalan cemara, tapi masuk gang. Trus saya beli roda, bikin gerobak. Waktu itu harga roda Rp 30.000,00. Dorong gerobak sendiri. Trus saya jualan sendiri. Mulai dari situ ada yang pesen ke jogja, ke Surabaya. Mulai dari itu juga saya mulai memikir untuk usaha seperti ini. Sistem beli-putus ini. Dengan cara demikian kita bisa membantu orang yaitu beli putus dari kita. Mereka bisa jualan. Secara tidak langsung saya membantu mengurangi beban pemerintah dengan mengurangi pengangguran iya nggak?

Iya, betul.
Jadi seperti itulah. Karena saya hidup seperti ini, membantu pemerintah dengan mengurangi pengangguran. Karena adanya pengangguran jadi banyak kejahatan. Mungkin dengan adanya tujuan seperti itu, kejahatan dapat dikurangi. Saya punya tujuan untuk membantu program pemerintah mengurangi pengangguran.

Kalau misalnya ada pengangguran yang masuk bekerja di sini. Lalu mereka punya modal untuk buka usaha cireng ini. Apakah yang seperti itu banyak?
Enggak. Mereka hanya direkrut jadi pegawai di sini saja. Tapi kalau mereka yang ada di sini mereka punya modal untuk beli etalase. Kalau mereka mau ya mereka jadi mita sini. Mungkin seperti itulah ya, berawal dari kepahitan. Setiap hari kan masalah terus berdatangan, tapi itu kan dicajikan cambuk untuk saya. Saya juga mempertahankan anak-anak di sini tanpa ada bapaknya.

Maaf, ke mana suami anda?
Saya pisah. Memang dari awal saya merintis ini saya masih bersama bapak. Tapi dia tidak suka ramai, dia banyak tidak sukanya. Jadi saya memberanikan diri untuk pisah dan akhirnya saya bisa mendapatkan seperti ini. Ini juga petunjuk Tuhan. Yang betul-betul saya syukuri dengan anugrah ini adalah saya bisa membantu orang. Ilmu yang saya dapatkan secara tidak sengaja bisa membantu banyak orang. Walaupun saya sakit hati banyak yang menjiplak cireng ini, tapi saya ambil hikmahnya, mereka ikut mempromosikan cireng ini. Yang saya sayangkan, saya belum punya tempat produksi sendiri. Seandainya ada investor yang mendengar keluhan saya ini ya kenapa nggak menolong saya untuk memberikan solusi.

Produksi Cireng Rampat di sini?
Iya, iya. Masih gabung di sini. Kebetulan saya tidak tinggal di sini, tapi tempat ini masih kontrak. Seandainya ini tempat sendiri kan semakin leluasa.

Ada berapa rasa cireng?
Yang saya keluarkan mayoritas 8. Tapi sebenarnya masih ada. Semuanya ada 11. Yang tetap dikeluarkan ada 8. Rasa lainnya itu, udang abon, dan kuah. Kalau abon itu tidak lagi dikeluarkan karena memang kurang laku. Kalau yang udang itu terlalu ribet. Sedangkan yang kuah hanya ada di pusat saja.

Untuk bentuk cireng itu dibentuk dengan cetakan khusus?
Iya, saya pesan khusus kepada produsen cetakan. Cetakan itu jadi setelah dua bulan kita pesan. Kalau dulu saya bikin pakai kayu papan.

Masih disimpan sampai sekarang?
Wah sudah nggak tahu ada di mana. Sering pindah rumah kan, makanya jadi nggak tahu di mana kayu itu. Padahal itu benda yang bersejarah, haha…

Apakah anda akan menciptakan cireng isi dengan isi yang baru lagi?
Ya, tapi tidak sekarang. Kita sedang berbenah dulu.

Berbenah dalam hal apa?
Kita sedang berbenah diri di pelayanan. Pada mitra, pada konsumen.

Kalau untuk menciptakan isi cireng yang baru itu, apakah anda melakukan survey pasar terlebih dahulu?
Tidak. Saya membuatnya berdasarkan feeling saja. Saya mau membuatnya berbeda dengan orang lain. Dulu pernah ada yang usul untuk membedakan rasa dengan diberi titik dengan warna yang berbeda. Saya tidak mau, itu kan meniru bakpau. Kalau cireng kan membedakan isinya dari bentuknya. Kenapa saya membentuk cireng isi bakso dengan bentuk bulat, karena bakso kan berbentuk bulat. Seperti itu. Jadi, ya, sesuai dengan perasaan saja.

Pusat produksi di mana?
Di Banjaran dan Jatinangor. Jadi untuk area tengah dan selatan dipegang mereka. Kalau di sini pusatnya. Jatinangornya di jalan Sayang. Yang Banjaran itu dipegang oleh anak saya dan yang di Jatinangor oleh adik saya.

Wah, jadi ini berkembang menjadi bisnis keluarga ya?
Iya, seperti itu.

Kalau untuk harga mitra dan konsumen?
Beda. Kalau untuk konsumen itu rata-rata Rp 1.500,00 per potong. Kalau harga mitra itu ada harga khusus karena ada administrasi itu tadi. Dengan membayar administrasi mendapatkan harga khusus yaitu harga minimum dari sini.

Berapa harga minimum cireng yang anda berikan?
Rp 800,00 sampai Rp 900,00. Mereka ada yang jual Rp 1.500,00 sampai Rp 2.500,00. Dengan memasarkan minimal 100 potong saja, mereka mendapatkan keuntungan yang lumayan.

Penghargaan yang anda dapat dari mana saja?
Pengusaha yang bisa memberikan kualitas kepada masyarakat dari Departemen Perindustrian baru-baru ini. Untuk masuk nominasi pernah di radio Produa.

Nominasi apa ya?
Pengusaha yang ikut meningkatkan sumber daya manusia. Seperti itu lah…

Ancaman yang dirasakan dari ini apakah hanya penjiplakan saja?
Iya. Tapi itu saya jadikan dorongan saja. Kayak Kartika Sari saja, orang kalau inget kue di Bandung, ingat Kartika Sari. Walaupun memang banyak penjiplaknya, tapi nggak sebanyak cireng yang menjiplaknya.

Apa itu karena bahan baku cireng murah?
Gini, orang itu tidak melihat saya dari bawah bagaimana. Mereka hanya melihat saya sekarang bagaimana. Mereka nggak liat perjuangan saya dari bawah itu seperti apa. Dari mulai cari adonan, memasarkan, memperkenalkan kepada masyarakat. Setelah masyarakat kenal, suka, dan berbondong-bondong ke dunia cireng, di situlah banyak yang menjiplak.

Booming cireng isi itu sendiri sejak kapan?
Dari 3 tahun ke belakang ini dan booming juga yang menjiplak. Hahahaha….
Memang sih kadang suka sakit hati tapi ga pernah dibikin sedih. Kita sudah bertahan belasan tahun dan masih ada. Saya hanya bikin satu ucapan syukur kepada Tuhan bahwa ilmu yang saya temukan bermanfaat bagi orang-orang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan ada investor yang mau dengar, baik hati, kalau tujuan saya itu mau menolong orang, merekrut pengangguran dan mereka mau memberikan tempat produksi.

Dalam sehari ada berapa banyak cireng yang diproduksi?
14.000 sampai 15.000. Minimal 12.000 sampai 14.000. Maksimal 16.000.

Wah, berarti dalam sebulan menghasilkan sangat banyak, ya?
Iya. Jadi kita memproduksi cireng per hari itu di atas 20.000. Bahkan di atas di 20.000. Dalam satu tempat produksi saja 14.000. Ini ada 3 tempat produksi.

Ini bikin cireng pakai tangan?
Iya, ini makanan kerajinan tangan, bukan kerajinan mesin. Hahaha… Kalau pakai mesin semua, bagaimana kita merekrut orang untuk bekerja, bagaimana mengurangi pengangguran. Jadi ini makanan betul-betul kerajinan tangan, khas. Makanan Bandung itu betul-betul kerajinan tangan bukan kerajinan mesin.

Bikin cireng jam berapa?
Dari jam 8 pagi sampai semuanya selesai.

Lalu untuk dijual keesokan hari?
Enggak, ini untuk dijual nanti siang. Kalau mau diambil pagi, kita bikin malamnya.
Ada berapa total pegawai?
Lumayan banyak. Sekitar 30 orang yang ada di pusat ini. Kalau disatukan dengan yang di Banjaran dan Jatinangor ada banyak.

Berapa keuntungan dari usaha cireng ini?
Kalau bicara keuntungan, saya malu. Karena memang keuntungan dari usaha ini lumayan. Tapi, kita tidak memiliki fasilitas. Jadi, keuntungan berputar untuk dialokasikan ini dan itu. Akhirnya keuntungan itu berputar terus karena kita belum punya fasilitas yang serius, yang memadai untuk karyawan, produksi, pemasaran, dan sebagainya. Dan ternyata memang, uang itu diputarkan seperti itu.

Saya pernah baca dari satu situs di internet. Di situs menyebutkan bahwa keuntungan per bulan dari usaha anda sekitar 36 juta per bulan. Apa itu betul?
Itu tergantung kita bagaimana memasarkan. Jadi soal keuntungan saya rasa, tidak bisa ditarget. Bisa saja lebih, kalau bisa memasarkannya. Jadi tergantung kita bagaimana memasarkannya dan bagaimana kita memanfaatkannya.

Jadi tergantung hasil penjualan saja, ya?
Ya. Jadi itu saya rasa kemungkinan tidak bisa mendapat hasil yang sama.

Apa yang anda lakukan dengan usaha ini pada saat krisis global ini?
Tidak ada pengaruh, ya. Soalnya saya menjalankan usaha ini tanpa ambisi. Yang penting saya dan anak saya masih bisa makan, pegawai saya juga jangan sampai kekurangan makan. Sesuatu masih bisa dipegang. Terkadang merasa berat ketika harga cabe rawit melambung tinggi mencapai Rp 70.000,00 sampai Rp 75.000,00 atau minimal Rp 45.000,00 per kilo. Tapi untuk harga yang lain stabil walaupun ada kenaikan. Tapi kita tetap di harga standar. Seandainya mitra mau menaikan harga, ya, silahkan. Kita tidak membatasi untuk menjual berapa. Yang penting, dari sini harganya sudah ada, kita tidak membatasi harga jual mereka. Itu tergantung dari mitra dan tergantung kita mau ambil untung berapa. Tergantung dari yang jual mau ambil untung berapa. Kalau pakai ambisi ya inginnya ambil untung besar, haha…. Kalau saya standar aja, dari dulu begini. Tidak pernah diubah bentuk atau dikurangi isinya.
Menurut pandangan anda, bagaimana masa depan dari usaha cireng rampat ini?
Kayaknya kalau kita dilengkap dengan fasilitas yang memungkinkan, akan cepat berkembang dan akan terus ada, tidak ada putusnya. Karena dari apa yang saya rasakan selama belasan tahun, usaha ini bukannya turun tapi semakin maju.

Dulu berapa harga cireng yang anda jual?
Dulu Rp 200,00 tapi isinya baru kacang. Lalu naik lagi menjadi Rp 250,00, dan naik lagi jadi Rp 300,00, lalu jadi Rp 1000,00 dapat 3. Sampai akhirnya Rp 500,00. Dan sampai sekarang yang isi kacang bertahan pada harga Rp 500,00. Waktu harga cireng Rp 200,00 itu saya mendapat cobaan yang berat, kan saya melakukan semua sendiri. Dari bikin sampai jual saya sendiri, semua sendiri. Dari situ kan kita bisa melihat ke bawah.

Jadi anda melakukan usaha ini benar-benar dari bawah, ya?
Iya, daripada kita usaha dari atas tapi nanti jatuh. Lebih baik kita merambat dari bawah.

Anda asli Bandung?
Iya, saya dari Bandung.

Anak-anak anda di mana?
Anak saya dua. Satu sudah menikah dan mengurus produksi cireng ini di Banjaran. Satu lagi di pusat sini, mengurus cireng di sini.

Harapan anda dari usaha cireng ini?
Ada modal untuk buka produksi Cireng Rampat ini di Malang, sehat, terus anak saya juga mau untuk meneruskan. Saya berharap banyak dari anak-anak agar anak-anak bisa menjadi generasi penerus dari usaha Cireng Rampat ini.

Bagaimana dengan keseharian anda?
Saya bergelut di aci, kan saya tukang aci. Olahraga saja saya tinggalkan untuk aci ini. Hanya urusan ke pasar dan mengurus aci.

Berarti anda masih menangani semua sendiri secara langsung?
Kalau secara langsung tidak terlalu. Sekarang dibantu dengan pegawai yang mengurus administrasi. Lalu dibantu anak saya dan nanti dibantu keponakan untuk pembukuan. Karena kalau ditangani sendiri artinya saya selalu ada di sini dan untuk mengembangkan ke depannya bagaimana. Jadi saya berpikir kapan kita mau berkembang kalau saya di sini terus. Jadi mungkin dengan adanya perwakilan saya di sini, saya akan lebih leluasa untuk mengembangkan usaha ini di luar. Karena memang masih banya pengangguran yang masih harus kita tolong, terutama yang berpendidikan rendah. Mungkin kalau kita punya tempat produksi yang luas, kita akan banyak untuk merekrut pengangguran.

Apakah cireng produksi anda pernah dibawa ke luar negeri?
Pernah, tapi bukan untuk dijual. Untuk konsumsi pribadi saja. Dibawa ke Singapura dan Belanda. Dan mereka suka dengan cireng saya.

Ada rencana untuk buka cabang di luar negeri?
Wow, keren banget. Di sini saja acak-acakan. Kita rapikan dulu di sini. Seperti yang saya katakan, saya gak ambisi. Yang penting cukup makan saja, saya sudah bersyukur.

Ada pengalaman pahit dalam melakukan usaha ini?
Saya pernah tertipu. Jadi saya orangnya gamapang percaya dengan orang lain. Saya pernah menitipkan mobil dengan kunci dan STNK kepada orang yang saya kenal, ternyata di menggadaikan mobil saya kepada mafia. Saya mengalami kerugian sekitar 60jutaan. Selain itu, yang menjiplak cireng-cireng saya itu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Sebuah Pertemuan dengan Taufiq Ismail

Saya senang bisa ada di sini, Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran. Well, mereka bilang jurusan ini banyak tugas dan bikin sosialisasi kita ma temen2 agak berkurang karena tugas itu. Dan itu benar. Haghaghag.... Saya jadi jarang main sama Rina,, abisan dia juga sibuk sihh... hehehehe....

Meskipun tugas saya di Jurnalistik banyak dan terkadang memaksa saya untuk mengerjakan sampe begadang, saya tetap senang di sini. Tugas pula yang mempertemukan saya dengan idola saya sejak SMA, Taufiq Ismail. Ya, saya suka dengan puisi Taufiq Ismail. Puisinya seperti menceritakan kepada saya tentang apa yang terjadi pada tahun 1960-an, menyadarkan saya tentang hal-hal kecil yang saya lupakan, dan mengingatkan saya pada Tuhan. Puisinya begitu jujur.

Pada tugas feature tokoh, saya sengaja mengajukan nama Taufiq Ismail. Saya ingin mengobrol tentang sastra dengan dia. Dan dosen memberikan setuju pada nama Taufiq Ismail untuk saya wawancarai. Sempat ada rasa pesimis dalam diri saya mengingat beliau sibuk dengan Rumah Puisinya di Padang. Tapi ternyata beliau bersedia di wawancarai dan menyambut baik.

Pertemuan saya dengan Taufiq Ismail pada Minggu lalu, 22 November 2009. Beliau banyak bercerita tentang masa kecilnya saat perkenalannya dengan dunia sastra. Tentang kekaguman beliau pada ayahnya yang menulis Tajuk Rencana pada sebuah kabar, kekaguman beliau pada pantun-pantun ibunya yang dimuat di majalah. Banyak yang beliau ceritakan pada saya.

Pertemuan saya dengan Taufiq Ismail membuat saya seperti kembali ke dalam kelas Bahasa di SMA saya dulu dan mempelajari sastra. Movel-novel karya STA, angkatan 45, angkatan 66. Seperti berada di dunia saya sendiri, sangat nyaman. Taufiq bercerita juga tentang impiannya saat SMA dulu, menjadi sastrawan.

Pertemuan saya dengan Taufiq Ismail mengingatkan saya pernah menyanyikan puisinya dalam musikalisasi puisi di SMA dulu. Puisi berjudul Harmoni dari buku Tirani dan Benteng saya pilih untuk saya nyanyikan. Kemudian saya juga bermonolog dengan puisi Taufiq Ismail yang berjudul Dharma Wanita dari buku Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.

Ya, ketika SMA saya banyak membaca puisi karya Taufiq Ismail.

Taufiq bilang, bila dia diberi umur panjang, dia akan tetap menulis puisi. Puisi-puisi yang ditulis olehnya, menurut Tafiq, adalah apa yang dia lihat dan rasakan, semuanya dari dirinya. Semangatnya untuk menyebarkan sastra pada pelajar masih ada.

Tugas wawancara dengan Taufiq Ismail ini mengingatkan saya pada cita-cita saya saat SMA. Cita-cita yang sama dengan Taufiq Ismail, menjadi seorang sastrawan. Ya, saya ingin menjadi sastrawan, memiliki buku kumpulan puisi yang saya buat.

Di antara tugas jurnalistik lainnya, mungkin tugas ini yang paling istimewa bagi saya. Tugas ini mengantarkan saya bertemu dengan Taufiq Ismail, seorang penyair yang saya kagumi.
Terima kasih pada Bapak Taufiq Ismail atas waktu yang diberikan untuk wawancara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Tak Mau Menyesal

Saya belajar banyak dalam kehidupan saya. Sedih, susah, senang, bangga, tangis, tawa, senyum. Saya belajar semua itu. Kehidupan saya bukan kehidupan sempurna. Dan saya yakin tidak ada kehidupan sempurna kecuali kita memaknai kehidupan kita. Dan saya, tak mau meyesali kehidupan saya.

Saya tak mau menyesali semua keputusan yang sudah saya buat dan saya ambil. Saya yang memilih, saya yang menanggungnya. Bahkan keputusan saya berkuliah di Unpad tidak pernah saya bayangkan sewaktu saya SD dan SMP. Keputusan ini saya ambil ketika SMA. Dan saya tak menyesalinya. Jauh dari orang tua membuat pikiran saya terbuka dan mulai menilai kehidupan. Memandang kehidupan di luar rumah, dari hal-hal yang telah diajarkan di rumah.

Jurnalistik. Salah satu yang saya pilih dalam kehidupan saya. Orang bilang itu berat, saya tak peduli. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya ingin selama itu positif. Tak ada penyesalan saya dalam dunia jurnalistik. Dunia ini yang mengenalkan saya dengan dunia tempat saya tinggal.

Ya, jurnalistik membuat mata saya terbuka bahwa dunia punya hal lain and not always you. Dari dunia ini saya belajar banyak hal dan bertemu banyak orang. Saya belajar budaya Sunda, sesuatu yang belum pernah saya pelajari. Mata saya terbuka, saya menyukai hal seperti ini. Belajar sesuatu yang sebelumnya tidak saya tahu. Saya bertemu banyak orang hebat, caleg, pakar, seniman, pengusaha. Mereka yang membuat saya semangat agar menjadi orang sukses.

Saya suka. Melelahkan dalam dunia ini. Namun satu hal yang pasti, saya tak mau menyesalinya. Saya mau hidup saya sempurna dengan segala kekurangan dan kelebihannya, setidaknya menurut saya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments