Sebuah Pertemuan dengan Taufiq Ismail
Saya senang bisa ada di sini, Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran. Well, mereka bilang jurusan ini banyak tugas dan bikin sosialisasi kita ma temen2 agak berkurang karena tugas itu. Dan itu benar. Haghaghag.... Saya jadi jarang main sama Rina,, abisan dia juga sibuk sihh... hehehehe....
Meskipun tugas saya di Jurnalistik banyak dan terkadang memaksa saya untuk mengerjakan sampe begadang, saya tetap senang di sini. Tugas pula yang mempertemukan saya dengan idola saya sejak SMA, Taufiq Ismail. Ya, saya suka dengan puisi Taufiq Ismail. Puisinya seperti menceritakan kepada saya tentang apa yang terjadi pada tahun 1960-an, menyadarkan saya tentang hal-hal kecil yang saya lupakan, dan mengingatkan saya pada Tuhan. Puisinya begitu jujur.
Pada tugas feature tokoh, saya sengaja mengajukan nama Taufiq Ismail. Saya ingin mengobrol tentang sastra dengan dia. Dan dosen memberikan setuju pada nama Taufiq Ismail untuk saya wawancarai. Sempat ada rasa pesimis dalam diri saya mengingat beliau sibuk dengan Rumah Puisinya di Padang. Tapi ternyata beliau bersedia di wawancarai dan menyambut baik.
Pertemuan saya dengan Taufiq Ismail pada Minggu lalu, 22 November 2009. Beliau banyak bercerita tentang masa kecilnya saat perkenalannya dengan dunia sastra. Tentang kekaguman beliau pada ayahnya yang menulis Tajuk Rencana pada sebuah kabar, kekaguman beliau pada pantun-pantun ibunya yang dimuat di majalah. Banyak yang beliau ceritakan pada saya.
Pertemuan saya dengan Taufiq Ismail membuat saya seperti kembali ke dalam kelas Bahasa di SMA saya dulu dan mempelajari sastra. Movel-novel karya STA, angkatan 45, angkatan 66. Seperti berada di dunia saya sendiri, sangat nyaman. Taufiq bercerita juga tentang impiannya saat SMA dulu, menjadi sastrawan.
Pertemuan saya dengan Taufiq Ismail mengingatkan saya pernah menyanyikan puisinya dalam musikalisasi puisi di SMA dulu. Puisi berjudul Harmoni dari buku Tirani dan Benteng saya pilih untuk saya nyanyikan. Kemudian saya juga bermonolog dengan puisi Taufiq Ismail yang berjudul Dharma Wanita dari buku Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.
Ya, ketika SMA saya banyak membaca puisi karya Taufiq Ismail.
Taufiq bilang, bila dia diberi umur panjang, dia akan tetap menulis puisi. Puisi-puisi yang ditulis olehnya, menurut Tafiq, adalah apa yang dia lihat dan rasakan, semuanya dari dirinya. Semangatnya untuk menyebarkan sastra pada pelajar masih ada.
Tugas wawancara dengan Taufiq Ismail ini mengingatkan saya pada cita-cita saya saat SMA. Cita-cita yang sama dengan Taufiq Ismail, menjadi seorang sastrawan. Ya, saya ingin menjadi sastrawan, memiliki buku kumpulan puisi yang saya buat.
Di antara tugas jurnalistik lainnya, mungkin tugas ini yang paling istimewa bagi saya. Tugas ini mengantarkan saya bertemu dengan Taufiq Ismail, seorang penyair yang saya kagumi.
Terima kasih pada Bapak Taufiq Ismail atas waktu yang diberikan untuk wawancara.