Ketika Waktu (Tak) Berpihak
Jika waktu bisa aku balikkan
Maka aku memilih waktu itu
Ketika aku masih memiliki kesempatan…
Entah sudah berapa lama aku tak bertemu dengannya. Mungkin dia sudah berubah, atau masih sama seperti dulu. Dan sekarang, aku menunggunya. Di café tempat kami biasa berbincang dulu, beberapa tahun lalu. Sudah 15 menit aku menunggunya, dia tak kunjung datang. Aku masih menunggunya ditemani segelas ice chocolate. Oh, aku melihatnya. Dia. Berjalan ke arahku, dia datang. Kemeja biru muda dengan celana hitam. Oh, dan kacamatanya, dia masih memakai kacamatanya. Tak ada yang berubah darinya. Dia masih seperti dulu.
“Kau sudah lama menunggu?”, tanyanya.
“Tidak. Baru lima belas menit”, jawabku dengan senyum sempurnaku.
Masih aku ingat betapa senangnya aku mendapat message darinya. Dua tahun aku tak mengetahui kabarnya dan semalan dia mengirimku message untuk bertemu di café ini. Dan dia masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya, dua tahun lalu. Tak ada yang berubah darinya.
“Di mana kau sekarang? Aku tak mendengar kabarmu sejak dua tahun lalu”, tanyaku sedikit berbasa-basi. Ya, aku menyimpan penasaranku sejenak. Aku penasaran apa yang menyebabkan dia mengajakku bertemu di sini.
“Kau mencariku? Aku pindah bekerja ke Surabaya. Sengaja tak memberi kabar biar kalian mencariku, haha..”, candanya.
Kali ini, aku yakin dia masih persis sama seperti dulu. Selera humornya, tawanya, dan cara dia memperlakukanku. Semua masih sama.
“Kenapa kau masih saja narsis?”, tanyaku sambil berpura-pura marah.
“Hahaha… Kau tidak berubah Bella. Aku narsis? Kau lebih narsis, hahaha…”, balasnya.
Aku hanya bisa tersenyum. Ah, Ryan, kau tak pernah berubah sejak dua tahun lalu. Dua tahun lalu ketika kau memilih meninggalkan kota ini tanpa memberi tahu siapapun. Dua tahun lalu ketika kau sakit hati pada kawanmu sendiri tentang seorang perempuan. Ah, seandainya saja kau tahu.
“Jadi, apa yang terjadi selama dua tahun ini? Selama aku tak di sini?”, tanyanya semangat.
Aku tak tahu harus menjelaskan dari mana. Dari bagian kawannya yang menikah dengan pacar Ryan. Atau dari hidupku.
“Apa yang ingin kau tahu? Tentang Zara?”, tanyaku pelan. Zara, perempuan itulah yang membuat Ryan pergi dari kota ini. Perempuan itu yang mebuat persahabatan Ryan dengan Romy berantakan. Perempuan itu yang membuat aku tak bisa menghubungi Ryan selama dua tahun ini.
Wajah Ryan terlihat tenang. Tak ada rasa kesal di wajahnya. Bibirnya tersenyum tipis.
“Mereka menikah kan? Aku sudah tahu. Zara memberitahuku saat hari pernikahan mereka”, ujarnya tenang.
Aku terdiam mendengar ucapannya barusan. Tak ada dendam dari nada suaranya. Mungkin dia ikhlas. Atau mungkin ini seperti apa yang dikatakannya ketika terakhir kali dia bertemu dengaku dua tahun lalu. “Zara bebas menentukan dengan siapa dia akan hidup. Mungkin Romy yang terbaik untuknya. Aku tidak pernah marah dengan hal ini. Aku hanya kecewa dengan sikapnya yang tak jujur”, kata Ryan. Nada suaranya sama saat dia bilang Zara telah menikah. Tenang dan tak ada dendam.
“Kau tak tanya mengapa aku ingin bertemu denganmu?”, tanya Ryan.
Tentu saja aku ingin tahu.
“Ya”, jawabku singkat.
Aku melihatnya menatap mataku dalam-dalam. Aku tak tahu apa maksudnya. Dia terdiam sejenak. Mengalihkan pandangannya ke arah keluar café, memandang orang-orang yang berlalu lalang. Selalu, aku tak pernah bisa menebaknya meski bertahun-tahun aku mengenalnya. Dia sangat sulit untuk dibaca.
Ryan kembali menatapku, lalu menunduk.
“Ada yang ingin kau katakan?”, tanyaku perlahan.
“Ya”, jawabnya singkat.
“Tentang apa?”, tanyaku.
“Tentang kita”, jawab Ryan.
Tiba-tiba saja aku tak bisa berkata-kata. Mataku terpaku padanya, mencari keseriusan di matanya.
“Dua tahun lalu, aku mulai menyadari ada sesuatu yang hilang ketika aku pergi dari kota ini. Bukan Zara. Aku bahkan tak merasakan sakit ketika Zara meninggalkanku. Saat itu aku bersama Zara tapi aku tak merasakan sakit ketika dia bersama Romy. Bukankah itu aneh?”, tanyanya sambil menatap mataku.
Aku tak tahu harus menjawab apa.
“Hmmm… Aku tak tahu.., maksudku, ya, itu aneh”, jawabku sedikit bingung.
Ryan menyandarkan punggungnya ke kursi dan menghela napasnya.
“Saat itu juga aku merasa ada sesuatu dalam diriku. Ada sesuatu yang memaksaku untuk jujur pada diriku sendiri. Bukan Zara yang aku cari. Ada orang lain”, jelas Ryan.
Matanya menyiratkan dia mengatakan apa yang sebenarnya. Dia tak berbohong atau becanda kali ini. Dan aku di sini, menjadi ‘tong sampah’nya, mendengar semua cerita dan keluh kesahnya selama ini seperti tahun-tahun lalu.
“Siapa?”, tanyaku.
“Dia…. Ada di sini. Di depanku”, jawabnya sambil menatap mataku dalam.
Aku tak tahu maksudnya. Aku balas menatapnya, mencari keseriusan katanya.
“Ya, Bella. Kau yang selama ini ada di sini”, ujarnya sambil menunjuk dadanya. “Aku tak pernah menyadarinya bahwa selama ini aku mencintaimu sampai ketika aku pergi dua tahun lalu. Bahkan ketika bersama Zara pun, aku mencari sosokmu dalam Zara dan aku tak pernah menemukannya. Itu karena aku memang mencintaimu”, jelas Ryan.
Ah, Ryan, kau memang pandai mempermainkan hati perempuan. Kau bisa dekat dengan perempuan manapun yang kau mau dengan sifat ramahmu. Kau terlalu gampang memuji dan pandai mengambil hati mereka. Dan sekarang aku tak tahu keseriusanmu dan kebiasaanmu itu.
Aku masih menatap matanya dalam, masih mencari keseriusan ucapannya. Dengan dahu yang berkerut. Ya, aku tahu, matanya memancar keseriusan itu. Dia benar, dia serius.
“Sejak kapan?”, tanyaku.
“Sejak kelulusan itu. Saat aku mulai bisa membaca dirimu”, jawabnya.
“Kau membaca diriku? Kenapa selama ini kau tak membiarkanku membaca dirimu?”, tanyaku sedikit marah.
“Kau berusaha membacaku?”, tanyanya bingung.
“Ya. Kau tak pernah sadar itu? Selama ini kau artikan apa perhatianku?”, marahku.
Ryan mulai terlihat bingung melihat kemarahanku.
“Kau.. Aku tak pernah tahu.. Kau mencintaiku?”, tanyanya sedikit waspada.
“Sudah terlambat Ryan. Dua tahun ini aku selalu mencarimu, mencoba menghubungimu, tapi tak pernah bisa. Dua tahun ini aku ingin mengatakan semua padamu betapa aku mencintaimu. Tapi semua sudah terlambat”, marahku.
Aku melihatnya mengernyitkan dahi. Dia terlihat bingung. Perlahan dia menghembuskan nafasnya lalu mencoba tersenyum.
“Tak ada yang terlambat, Bella. Aku di sini. Kau baru saja mengatakan padaku. Tak ada yang terlambat”, ujarnya sambil tersenyum.
“Tidak Ryan. Aku.. aku akan menikah besok. Seandainya kau pulang lebih cepat, kau tidak akan pernah terlambat”, ujarku pelan sambil menatapnya. Aku melihatnya terkejut. Kulangkahkan kakiku menjauhi meja kami, berjalan menjauhinya lalu keluar café. Ryan masih duduk termangu. Tatapan matanya kosong. Mendengarnya mencintaiku adalah hal terindah dalam hidupku. Namun aku sangat sakit, menyakitinya seperti ini. Ah, Ryan, seandainya saja kau pulang lebih cepat…
2 komentar:
kl boleh tau tempat asal kamu dari daerah mana? kebetulan saya asli dari desa yang kamu ceritakan waku kamu KKN
oh kamu dari patakaharja?
waahh, desa kamu menyenangkan sekali..
aku dari cilacap, tapi kuliah di unpad bandung..
Posting Komentar