Berpihaklah Padaku Kali Ini --- Part II

Banyak kata tentangmu yang ingin kutulis
Tapi kata saja tak mampu menceritakanmu
Ingin kuceritakan dengan segala mimik
Tapi semua tak cukup
Karena kau lebih dari kata dan mimik

Harusnya dari awal aku tunjukkan
Bukan sekarang
Saat semuanya hampir menghilang
Saat semuanya hampir terlupa olehmu

Saat dekat semua terasa malu untuk muncul
Saat jauh yang terasa inginkanmu untuk tetap di sini
Di sampingku...

Dan di sini
Hanya bisa melihatmu, tersenyum getir
Mengucap pelan
Berpihaklah padaku kali ini



02022010
Laa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Berpihaklah Padaku Kali Ini --- Part I

"Kali ini saja, biarkan aku menggenggamnya erat".
Banyak kata yang ingin aku ucapkan tentang dia. Tapi kata saja tak cukup menggambarkannya. Mungkin kata tak mampu menceritakan tentangnya. Hanya melihat lalu kau akan tahu.

Banyak kata yang ingin kugambarkan tentang perasaanku. Tolong jangan biarkan aku menangis lagi. Lelah sudah aku mengeluarkan air mata. Bahkan air mata dan kata saja tak bisa mewakili semua perasaanku. Jadilah aku, dan kau akan merasakannya.

Romantisme itu terus menari dalam benakku. Menghamburkan semua impian insan. Lalu menanamkannya dalam pikiranku dan terus membayang. Romatisme yang didambakah itu??

Tapi untuk kali ini, berpihaklah padaku hai amore..


02022010
-lala-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Menanti Hangat

Baru saja hujan reda. Meninggalkan puluhan genangan air. Tapi mendung itu masih ada. Setidaknya di sini. Dalam diri.
Dingin telah usah. Menyudutkan hangat yang kemudian hilang entah ke mana. Dingin itu yang sekarang berkuasa. Hanya ada dingin lalu kaku. Perlahan aku menghangatkan dingin, membiarkan panas kembali berkuasa. Hangat setidaknya.

Dingin itu masih saja berkuasa. Panas yang kusebar belum saja terasa. Lambat laun dingin pasti melemah, melepas seluruh cengkramannya padaku. Lalu hanya hangat yang memelukku.

Sampai nanti, sampai hangat itu datang, aku akan menunggu. Dan ketika hangat memelukku, aku tak akan melepasnya sedetikpun. Karena hangat itu dia....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Sastrawan, Impian yang Tercapai

Oleh Eka Merdekawati K.S.


“Saya menemukan bahwa puisi menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan perasaan saya. Saya berdoa pada Allah, kalau saya dikaruniai umur panjang, saya akan terus berkarya”, ujar Taufiq Ismail pelan namun pasti. Keinginannya untuk terus menulis bukanlah untuk sebuah hobi, namun dengan menulis puisi, ia bisa menulis apa saja yang dia lihat dan rasakan.

Taufiq Ismail dibesarkan dalam keluarga guru. Sang ayah, A. Gaffar Ismail dan ibunya, Timur M. Nur, merupakan guru. Orangtuanya aktif dalam kegiatan kemerdekaan Indonesia. Keaktifan ayahnya dalam kegiatan itulah yang membuat ayah Taufiq dibuang ke Pekalongan. Taufiq Ismail sendiri lahir di Bukittingi, 25 Juni 1935, anak kedua dari enam bersaudara.

Perkenalan Taufiq dengan sastra dimulai dengan hobinya yang gemar membaca. Kedua orangtuanya memiliki banyak buku dan juga gemar membaca. Hobi orangtuanya inilah yang menurun pada Taufiq. Sebulan sekali, ayahnya membelikan buku untuk Taufiq. Novel pertama yang dibaca Taufiq Ismail adalah Tak Putus Dirudung Malang karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang dibacanya ketika kelas 3 Sekolah Rakyat.

Taufiq sendiri melewati masa sekolahnya di sekolah rakyat dengan berpindah-pindah. Dia bersekolah di sekolah rakyat Solo, kemudian berpindah-pindah ke Semarang, Salatiga, dan tamat di Yogyakarta. Memang sejak jaman pendudukan Jepang, Taufiq mengikuti orangtuanya yang sering berpindah kota.

Ketika jaman penjajahan Jepang itulah ayah Taufiq menjadi seorang wartawan di Sinar Baru dan menulis tajuk rencana. Membaca tulisan ayahnya di koran inilah membuat Taufiq terkagum-kagum dan berpikir bagaimana caranya membuat tulisan yang panjang. Ibunya juga menulis puisi dan pantun dalam majalah pergerakan perempuan. Hal ini memberikan pengaruh yang besar bagi Taufiq Ismail. “Saya ingin meniru mereka,” ucap Taufiq. Puisi pertamanya yang dimuat dalam koran Sinar Baru dibuat ketika Taufiq masih sekolah di sekolah rakyat. Perasaan bangga dan senang tak terbendung dalam dirinya.

Ketika SMA di Pekalongan, Taufiq dan teman-temannya berlomba untuk mebuat tulisan di media massa. Ia dan teman-temannya meminjam buku dari perpustakaan kota, lalu membaca dan mendiskusikan buku-buku yang dipinjamnya. Keinginannya saat itu adalah tulisannya bisa dimuat di surat kabar Jakarta karena pada saat itu, jika tulisan dimuat dalam media massa terbitan Jakarta berarti orang itu hebat. Tulisannya ketika SMA sempat dimuat dalam majalah Kisah. Kegemaran Taufiq akan membaca buku inilah yang membuatnya bercita-cita menjadi sastrawan ketika SMA.

Di SMA pula, Taufiq Ismail mendapatkan beasiswa dari American Field Service International Scholarships 1956-1957 untuk belajar di Milwaukee, Winconsin. Di sana, Taufiq bersekolah di Whitefish Bay High School, dan mendapatkan pelajaran sastra yang berbeda dengan di Indonesia. “Lainnya itu, kau harus banyak membaca buku dan kemudian didiskusikan di kelas,” ujar Taufiq. Tak jarang, ia harus membaca buku sebanyak 50 halaman per hari.

Saat liburan musim semi, Taufiq ditawari pekerjaan di ladang peternakan yang luas untuk memanen gandum, memberi makan ayam dan sapi, dan memerah susu sapi. “Itu pekerjaan berpeluh-peluh”, kata Taufiq. Dari tempat itulah impiannya terbangun untuk menjadi sastrawan dengan mencari nafkah dengan peternakan. “Nanti saya kalau sudah pulang dan berumah tangga, saya akan memiliki sebuah tanah pertanian yang luas seperti ini, kemudian saya akan menanam rumput, beternak memelihara sapi dan ayam, dan membangun rumah lantai tiga lalu di dekat jendela kaca saya duduk mengetik puisi”, kata Taufiq menceritakan impiannya dengan semangat. “Saya ingin menjadi pengusaha peternakan, agar saya bisa menafkahi anak dan istri saya setelah saya berumah tangga,” terangnya.

Karena itulah setelah lulus dari SMA, Taufiq Ismail memilih berkuliah di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor (sekarang Institut Pertanian Bogor) untuk mewujudkan cita-citanya itu. “Saya bersyukur, orangtua saya tidak mengharuskan saya masuk ke sekolah apa. Dan itu saya terapkan pada anak saya,” cerita Taufiq.

Meskipun Taufiq kuliah di FKHP, ia masih terus menulis dan ikut dalam kegiatan kesusastraan seperti lomba deklamasi. Dari kegiatan sastra inilah dia mengenal banyak sastrawan seperti HB Jassin dan Rendra. “Sastrawan-sastrawan ini berkumpul di Jakarta, jadi saya bolak-balik Bogor Jakarta untuk ikut sehingga saya kenal baik dengan sastrawan,” jelas Taufiq.

Setelah tamat kuliah, Taufiq Ismail juga aktif dalam politik. Ia ikut menandatangani Manifes Kebudayaan pada 1963 yang bertentangan dengan kubu Lekra atau PKI. Karena menandatangani Manifes ini, Taufiq batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida dan dipecat sebagai asisten dosen di IPB. “Jadi hari Jumat saya mestinya berangkat ke Amerika, nah hari Seninnya itu diumumkan di surat kabar bahwa Manifes dilarang oleh Presiden Soekarno. Padahal saya sudah pegang passport dan tiket,” terang Taufiq Ismail.

Dipecatnya Taufiq Ismail dari IPB, membuat impiannya ketika SMA untuk menjadi pengusaha peternakan gagal. “Padahal rencana saya sudah matang. Saya mau buka usaha peternakan di sebuah pulau di Selat Malaka dan udah survey,” terang Taufiq. Namun ia berhasil mewujudkan impiannya yang lain ketika SMA, menjadi sastrawan. “Saya gagal menjadi pengusaha peternakan. Namun, alhamdulillah saya berhasil menjadi sastrawan,” ucap Taufiq.

Oleh HB Jassin, Taufiq Ismail dimasukkan dalam sastrawan angkatan 66. Penggolongannya dalam angkatan 66 menimbulkan sedikit kerisauan dalam dirinya. “Saya risau, jangan-jangan saya terpaku pada angkatan itu. Sementara saya masih mau terus berkarya pada tahun-tahun berikutnya, 10, 20 tahun sesudah itu,” ucap Taufiq. Taufiq tidak ingin karya yang dia buat berpuluh tahun setelah tahun 1966 dimasukkan dalam angkatan 66.

Taufiq Ismail merangkum protesnya terhadap Orde Lama dalam kumpulan puisinya yang berjudul Tirani dan Benteng. Ia juga menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Malu(Aku) Jadi Orang Indonesia yang berisi protes pada Orde Lama. Ketika ditanya akankah ia menerbitkan buku mengenai jaman reformasi, ia tersenyum, “Waduh, belum. Ini sekarang Keadaan lebih jelek daripada dulu. Tapi saya akan tetap merespon,” jawabnya.

Kembalikan Indonesia Padaku, puisi karya Taufiq Ismail ini sempat dilarang oleh pemerintah. Pembacaan puisi ini untuk lomba juga dilarang di Jawa Tengah. Alasannya, puisi ini dianggap tidak mendukung semangat pembangunan. “Ada suatu pesimesme di dalamnya. Itu sebabnya dilarang,” terang Taufiq.

Menurut Anang Nurasa, guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Cilacap yang pernah mengikuti Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) dengan Taufiq Ismail, menilai Taufiq Ismail adalah seorang penyair yang fenomenal. “Berbicara Taufiq Ismail berarti berbicara sejarah. Puisinya tidak kenal waktu, karena berkaitan dengan sejarah semenjak pemerintahan Presiden Soekarno hingga masa reformasi dan sampai sekarang masih relevan,” tukas Anang.

Tahun 1971, Taufiq menikah dengan Esiyati Yatim, yang merupakan teman adiknya. Dari pernikahnnya, ia mendapatkan seorang putra, Bram. Anang bercerita, Bram tidak terlalu menyukai puisi dan Taufiq sendiri tidak memaksa anaknya untuk kuliah di sastra.

Puisi-puisi Taufiq Ismail tidak hanya sekedar dibaca dan dibukukan. Beberapa puisinya bahkan dinyanyikan oleh Bimbo, Ian Antono, hingga Gita Gutawa. Berawal dari tahun 1972, ketika Pertemuan Sastrawan Indonesia di Taman Ismail Marzuki. Saat itu. Ramadhan K.H., sekretaris Pelaksana Dewan Kesenian Jakarta mengajukan gagasan agar sebuah grup musik menyanyikan sajak penyair untuk dipentaskan dalam acara Pertemuan Sastrawan tersebut. Gagasan itu disetujui dan dipilihlah Bimbo untuk menyanyikan sajak dari penyair. Sam Bimbo sendiri memilih untuk menyanyikan sebuah puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul Dengan Puisi, Aku. Kejadian itulah yang memulai kerja sama Taufiq Ismail dengan Himpunan Musik Bimbo. Taufiq menuliskan lirik untuk mereka dengan tema yang dibicarakan bersama. Beberapa puisi Taufiq Ismail yang dinyanyikan musisi antara lain Dunia Ini Panggung Sandiwara, Lebaran Sebentar Lagi, Pintu Sorga, dan Ketika Tangan dan Kaki Berkata. Kerjasama dengan para musisi ini, telah menghasilkan sekitar 96 lagu hingga tahun 2008.

Tahun 2008 lalu, Taufiq mengeluarkan buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit yang berisi karyanya sejak tahun 1953 hingga 2008. Buku tersebut menandakan kiprah Taufiq selama 55 tahun dalam bidang sastra. Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit sendiri terbagi menjadi empat jilid yaitu Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 kumpulan puisi, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2 kumpulan prosa, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3 kumpulan prosa, dan Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 kumpulan lirik lagu.

Kecintaannya pada sastra telah memberikannya sejumlah penghargaan seperti Anugerah Seni dari Pemerintah RI pada 1970, South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand tahun 1994, Anugerah Habibie Award dalam Sastra tahun 2007. Taufiq Ismail juga memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dalam Pendidikan Sastra dari Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003 dan gelar Doctor Honoris Causa dalam Sastra dan Budaya dari Universitas Indonesia tahun 2009.

Taufiq Ismail juga membantu LSM Geram (Gerakan Anti Madat) dalam kampanye anti narkoba dengan menulis puisi dan lirik lagu yaitu Genderang Perang Melawan Narkoba dan Himne Anak Muda Keluar dari Neraka. Dalam kegiatan ini, Taufiq bersama 4 tokoh masyarakat lain mendapat anugerah dari Presiden Megawati Sukarnoputi tahun 2002. Tak hanya itu, Taufiq juga membantu Yayasan Lembafa Konsumen Indonesia dalam kampanye anti nikotin dengan membacakan puisinya tentang bahaya asap rokok dalam kumpulan sajak Tuhan Sembilan Senti.

Taufiq Ismail bersama sastrawan lain melakukan Gerakan Sastra Horison sejak tahun 1998, dalam usaha majalah sastra Horison untuk meningkatkan budaya membaca buku, menulis karangan dan apresiasi sastra di sekolah. Kegiatan dari gerakan tersebut seperti program MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra) untuk guru, melakukan SBSB (Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya), dan menyalurkan tulisan siswa dan guru dalam sisipan Kakilangit dalam majalah sastra Horison. Program yang dilaksanakan sejak 1998 hingga 2008 ini, akan terus berjalan seperti yang ditegaskan Taufiq Ismail. “Oh, pasti program ini akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya,” tegas Taufiq.

Taufiq lalu menghimpun kegiatan dalam Gerakan Sastra Horison pada sebuah Rumah Puisi. Rumah Puisi yang berada di Nagari Ai Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumetera Barat ini didikan Desember 2008 lalu dengan modal awal 7.000 judul buku. Sebelumnya, Taufiq mendapatkan Habibie Award dalam bidang Sastra pada 2007, yang kemudian uang hadiah tersebut digunakan untuk membangun Rumah Puisi ini. Dalam Rumah Puisi tersebut terdapat beberapa kegiatan seperti Pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia, membaca dan berlatih menulis siswa Sanggar Sastra, dan apresiasi sastra Indonesia dan Minangkabau. Istrinya, Esiyati Yatim, ikut membantu Taufiq mengurus Rumah Puisi yang didirikannya ini. “Dia yang jadi motornya, sehingga bisa membangun Rumah Puisi,” tukas Taufiq.

Kini, Taufiq Ismail tengah sibuk menguruh Rumah Puisi-nya yang didikiran di Nagari Ai Angek, Sumatera Barat. “Secara teoritis, saya dua minggu di Sumatera Barat, dua minggu di Jakarta,” terang Taufiq. Selain itu, pria yang ikut mendirikan Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta dan majalah sastra Horison ini, menjabat sebagai Ketua Badan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya yang bekerja sama dengan badan beasiswa American Field Service International Scholarships, Amerika Serikat.
Orangtuanyalah yang dinilai Taufiq paling berjasa dalam hidupnya. “Merekalah yang memberi contoh pada saya supaya saya membaca buku,” ucap Taufiq. Guru-gurunya pun berjasa dalam hidupnya, terutama Mrs. Clara Czarkowski, gurunya ketika di Whitefish Bay High School yang mengenalkan Taufiq pada sastra dunia.

Anang menilai, Taufiq Ismail merupakan sosok yang religius. “Dia tumbuh dalam lingkungan pendatang tetapi islami dan orangtuanya menanamkan nilai-nilai islami dan budaya membaca,” ujar guru Bahasa dan Sastra Indonesia yang mendapat julukan “Madurasa” dari Taufiq Ismail ini. Sedangkan Taufiq sendiri menilai dirinya adalah puisi yang dia tulis. Apa yang dilihat dan dirasakannya dituangkan dalam puisi. “Ekspresi diri saya itu bisa dilakukan dengan penuh di dalam puisi,” ujar Taufiq Ismail.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Kelompok feti saya yang menyenangkan

Semester lima akan segera berakhir. Dan saya harap nilai saya bagus.. ahaha
Well, dari semua tugas yang ada di semester ini ada dua tugas yang bikin saya benar-benar menikmatinya. Pertama, tugas menulis feature tokoh. Kedua, tugas feature televisi. Kenapa?

Well, tugas menulis feature tokoh bikin saya ketemu idola saya. Ya, saya wawancara idola saya untuk feature tokoh ini. Taufiq Ismail. Nama itu idola saya itu terlintas pertama kali saat pemberian tugas ini. Entah mengapa saya ingin mewawancarai. Saya tahu dia pasti sibuk, namun saya berkeras untuk mewawancarainya. Alhamdulillah, saya berhasil bertemu dengannya dan mewawancarainya.

Tugas paling seru adalah tugas feature televisi. Kenapa? Saya dan lima orang teman lain, ini tugas kelompok, mengerjakan bersama. Saya, ana, ike, eca, diana, jakah. Dan kami sangat kompak. Well, dari awal nenetuin tema sampe nyusun rundown, kami barengan gtu.. Malem2 kumpul di kosan anbel buat ngomongin ini.

Iuran pun kami lakuin buat ngejalanin tugas ini. Cari peralatan buat syuting, mule dari kamera MD, tripod, lighting, kita cari. Walopun akhirnya ga jadi sewa karna mahal banget. Cari narasumber dan sebagainya.

Tanggal 5 Desember 2009, kami mulai syuting pake mobil eca dengan peralatan yang Pertama adalah syuting narasumber di ciwidey. Berangkat jam 11 dan selese syuting di sana jam 4an. Lanjutlah kita ke Dago buat bikin janji sama narasumber lain. Wuiiiihhh itu mah dari ujung ke ujung Bandung diselingi makan malah di pinggir jalan di Dago. Seharian itu, kita selesai jam 9 malem.

Tanggal 6 Desember 2009, kita semua minus Ike, pergi ke parakan muncang buat ketemu narasumber yang bernama Abah Olot. Tapi, orangnya ga ada. Jadilah kita kebingungan dan akhirnya ketemu rein buat ngomongin konsep grafis dan ke komunitas asal sada untuk wawancara. Hari itu selesai malem juga.

Lanjut, kita syuting haru Rabu sore, 9 Desember 2009 di sekolah taman ilmu, minus Eca. Kita naik ojek sambil bawa2 handycam dua biji, tripod 2, kamera SLR, dan satu tas besar yang isinya lighting dan jajan. Pulangnya, kami kebingungan. Gak ada ojek dan letak sekolah itu lumayan jauh juga dari jalan raya. Untungnya ada mobil bak terbuka yang lewat. Jadilah kita berlima ikut nebeng mobil itu di baknya. Dan itu sangat seru dan menyenangkan.

Syuting ternyata ga beres juga hari itu, Kita lanjutin syuting esok harinya, tgl 10 Desember 2009. Kali ini hanya ada aku, ike, dan ana. Kami bertiga ketemu dimas yang juga lagi ada urusan di sekolah itu. Kami bertiga syuting sambil ngatur anak2 yang ampun dahh, pecicilan banget. Kemarin berlima aja kita kewalahan, apalagi ini cuma bertiga. Syuting bagian akhir sedikit bikin kita kesel. Salah satu talent dah hampir pundung mo pulang aja gara2 kelamaan. Tapi ana berhasil mencegah anak itu pulang. Jam 5 lebih syuting bener2 selese diakhiri bagi2 jajan. Yeeeaaaahhhh.....!!!

Hari sabtu,, kita rapat buat syuting presenter. Jam 8 malem ketika saya baru sampe kos, saya di sms untuk kumpul buat rapat. Tanpa pikir panjang, saya kemasi baju saya dan pergi rapat sekaligus nginep di tempat ana. Malem itu juga kita ketemu sama Citra, presenter acara feature kita.

Minggu, 13 Desember 2009, jam 9 pagi kita berangkat ke restauran de Tuik di bojongkoneng. Saya, eca, diana, ike, ana, jakah, dan citra. Kali ini pake mobil pinjaman dari Nung, karena mobil eca gak cukup buat kita bertujuh, hehhe... Ternyata de Tuik itu jauh juga... sebenernya deket caheum, tapi jalannya naik banget dan jauh..

Sampe de Tuik kita langsung syuting presenter karena beberapa hari sebelumnya diana ma eca dah minta ijin. Giliran makan siang, kita semua makan kecuali ana. Lanjut syuting lagi bagian komunitas galengan sama pembuatan karinding. Berhubung saya bendahara kelompok ini, maka sayalah yang disodori bon makan anak2. Dan harganya bikin uang kas terkuras. Haahahah,,Rp 238.750,00. awalnya saya sempet takut uangnya ga cukup, tapi ternyata cukup kok.. Malemnya di kosan ana, saya tagih uang makan mereka di de Tuik buat ganti uang kas dan bikin kita histeris. Ternyata per orangnya kalo diitung makannya di atas Rp 25.000,00 semua (kecuali ana yg cuma 10ribu). Dan itu bikin yang ngantuk kyk eca ma ike langsung bangun. Dan bikin ana ketawa puas banget. Sedangkan diana ngomel2. HAHAHAHAHHAHAHAHA......

Editing sendiri dimulai dari hari kamis. Sebenernya dari rabu sore, saya, eca, ma ana ke cileunyi buat nyari tempat transfer video. Tapi lagi ga bisa di sana. Rabu sore baru deh saya ma ana nemu tempat transfer setelah eca pulang. Ahahahahah..

Kamis malem, 17 Desember, di kosan ana, saya ma ana ambil hasil transferan video dan ternyata itu ga dipotong2. Malem itu, saya dan ana ditemani jakah motong2 video sambil nontonin apa aja yang dah kita syuting.

Jumat siang sampe malem, saya, ana, eca, jakah benar2 mule ngedit. Kami bagi2 buat ngedit. Vegas dan Premiere kami pilih buat ngedit. Cukup lucu juga dalam penentuan program ngedit ini. Saya dan ana bisa pake premiere sedangkan eca bisa pake vegas. Ana mule ngutik2 vegas buat ngedit, sedangkan saya ngedit langsung di premiere dan eca ngasih arahan ngedit ke saya. Masalah ngedit kami satu, rundown yang gak lengkap. Kami sedikit bingung buat bikin susunan acara saat ngedit ini, Eca sebagai produser sempet kesel dikit. Dan kami para editor memutuskan bikin sesuai rundown yang ada dengan sedikit perubahan yang kami sepakati. (sebenernya kami ini editor ato editor yang merangkap script writer sih? heheh).

Sorenya, jakah ma eca cabut ke bandung buat wawancara orang, karena dari hasil video yang saya edit, ada ketidakcocokan dengan fakta. Makanya mereka pergi untuk ngedapetin fakta itu, sedangkan ana pergi ke warnet buat nyari backsound acara ini, dan saya tetap diam di kosan ana buat ngedit video, namun akhirnya saya tidur juga dan baru bangun sesaat sebelum mereka pulang. Selesai ngedit malem itu jam 11 kurang, saya pulang pun nebeng si eca..

Sabtu, setelah saya wawancara dan nyebar angket, jam 8 malem, kami semua kumpul di kosan anbel. Kami berenam. Ya, kami mau ngedit. Saya, eca, dan ana menghadap monitor dan konsentrasi mengedit sampe akhirnya kami berenam bosan. Jam 10 malem kami memutuskan untuk pergi ke Jatos dan berkaraoke ria (boleh ditiru saat dikejar deadline dan stress). Sekitar jam 12 malem kami balik lagi ke kosan ana. Dan lanjut lagi ngeditnya. Jam 2 pagi yang bertahan melek hanya saya, ana, eca, dan jakah. Ngedit masih stabil. diselingi becandaan, diselingi nyanyi2 lagu anak2 waktu kita masih kecil.

Jam 3 pagi yang bertahan hanya para editor, saya, eca, ana. Suasana tenang. Masing2 konsen ke editing. Jam 4 pagi, kami masih menghadap monitor dan tekun mengedit. eca bolak balik ngarahin saya dan ana untuk kasih tau bagian mana aja yang diedit. Setengah 5 pagi, masih tenang, saya solat. Selesai solat, eca dah tidur. Tinggal saya dan ana. Dan keisengan saya muncul. Saya foto deh tuh 4 anak yang tidur berjejer kayak pepes, heheheh...
Ana : "La, lo berenti ngedit dulu aja. Sini nonton video korea"
Saya : "Nanggung na"

Jam 7 pagi, saya dan ana masih ngedit ketika anak2 baru bangun. Ike, diana, jakah memutuskan untuk pergi ke Pasar Unwim jam 8 kurang dan kita para editor nitip sarapan.
Eca :"La, lo ga nonton doraemon?"
Saya : "Oia, sekarang minggu ya" (pindah channel ke doraemon)
Sambil nonton doraemon, saya ngedit. Kali ini editing fokus ke laptop saya, semuanya dijadiin satu di laptop saya pake Premiere. Dan Premierenya not responding. Berhubung kita capek, jadilah kita tiduran ngadep tipi dengan posisi ana ada di kasur sedangkan saya dan eca kepalanya doang yang di kasur. Doraemon selese dan kita ketiduran.

Jam setengah 10 baru deh kita bangun gara ike, jakah, diana balik dari pasar dam berisik. Dan Premiere masih aja not responding. Jsdilah kita ulang editing yang not responding itu.

Editing kita lanjutin. Jam 2 siang saya pergi ke bandung karena ortu ma adek saya dateng. Balik lagi ke kosan ana jam 7 malem. Ternyata masih belum selesai editing sodara2. Ahahaha... jadi saya ngedit algi yang belum beres itu. Jam 10 baru deh semuanya beres, Tinggal rendering aja. sambil nunggu kita main truth or dare dan it was fun.....!!!!

Senin pagi, saat saya mengecek hasil rendering yang mpeg1, ternyata gambarnya pecah dan mpeg2 ga ada suara dan suara narator masih kalah sama suara backsound. Jadilah eca bilang kita harus ketemu di tempat ana. Jam 9 pagi saya masih ngedit dan ngerender bagian closing dan bagian narator itu. Karena bingung pake format apa, jadilah saya memutuskan untuk langsung dirender dari premiere ke DVD, dan ternyata bisa. hehehehe.... Tugas kami selamat dan tepat waktu..

Dan saya senang di tugas feti ini. Saya sekelompok dengan teman2 yang menyenangkan. Yang kompak dan selalu mau membantu yang lainnya. Ya, kita doyan banget becanda. Bahkan saat jalan liputan dan ngedit pun kita becanda mulu. Itu bagian untuk ngurangin stres, hehehe... Dan kita bakal satu kelompok lagi di jurnalisme televisi teman2.. Kita liputan dan ngedit bareng lagi yaaaa.....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments