Cireng merupakan kependekan dari aci digoreng. Cireng adalah jajanan khas Bandung yang terbuat dari aci yang digoreng dengan oncom di dalamnya.. Cireng bukanlah jajanan yang sulit untuk didapatkan. Biasanya cireng dijual bersama dengan gorengan lain. Cireng ini biasanya berisi oncom. Tidak sedikit penggemar cireng ini. Bukan hanya anak-anak saja, tetapi orang dewasa juga menyukai jajanan yang satu ini.
Berawal dari coba-coba, Ani Rohaeni sukses menekuni bisnis cireng isi. Hasilnya, cireng buatannya menjadi favorit masyarakat Bandung bahkan dari luar kota Bandung. Cireng buatannya yang diberi nama Cireng Rampat ini mudah ditemui di Bandung sehingga memudahkan para penggemar cireng untuk menikmati cireng buatannya. Hampir di seluruh penjuru Bandung, terdapat gerai yang menjual cireng isi produksi Cireng Rampat ini. Bahkan, Cireng Rampat ini telah dijual hingga ke luar kota Bandung.
Cireng Rampat itu sendiri sudah dipatenkan namanya oleh Ani Rohaeni dan telah mendapat ijin dari Departemen Kesehatan. Jadi, masyarakat tidak perlu ragu untuk memakan cireng isi buatan Ani ini.
Yang membuat cireng buatannya berbeda dengan cireng lain adalah isi yang dari cireng buatannya. Ia memberikan sosis, bakso, daging ayam, daging sapi, keju, kornet, dan kacang sebagai isi dari cireng buatannya. Masyarakat dapat menikmati 8 rasa dari cireng buatannya ini.
Awalnya, ibu dua anak ini yang berjualan cireng di depan rumahnya. Dia berjualan cireng hanya untuk menyambung hidup keluarganya. Tetapi usaha itu kini dapat memberi makan banyak orang. Dengan keuntungan yang besar, dia dapat membantu banyak orang dengan mempekerjakan orang-orang di dapurnya.
Apa saja rahasia sukses darinya? Bagaimana dia menjalankan bisnisnya? Berapa modal yang dikeluarkan? Berapa banyak karyawan dan cabang yang dimilikinya? Berapa keuntungan usaha Cireng Rampat ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Eka Merdekawati K.S. mewawancarai Ani Rohaeni, pemilik Cireng Rampat dan perintis cireng di Bandung di pusat Cireng Rampat, Jalan Cemara no. 50 pada Sabtu (29-11-2008) siang. Ibu dua anak yang tamat SMA ini menceritakan tentang usahanya mulai dari awal berdiri hingga sekarang.
Berikut petikan wawancaranya:
Usaha cireng rampat ini sejak kapan?
Kita rintis dari awal saya keluar kerja. Dulu saya kerja di salah satu restoran internasional. Saya gak langsung ke cireng. Saya usaha cireng untuk menutupi biaya hidup, saya punya anak dua. Saya merintis usaha cireng dari 92, dengan harapan untuk memperpanjang hidup. Saya keluar kerja tahun 91. Dari situ kita coba-coba bikin cemilan dari adonan aci. Kemudian saya berpikir untuk membentuk adonan aci seperti combro. Akhirnya saya mencoba dan saya mendapatkan satu gumpalan aci yang bisa dibentuk. Dari situ saya membuat cireng isi sambal kacang. Awalnya membuat seperempat sampai berkarung-karung.
Nah, dari situ saya mempunyai tujuan untuk merekrut tetangga saya karena di lingkungan saya banyak pengangguran. Dari yang tidak punya kegiatan menjadi punya kegiatan, dari yang tidak punya income menjadi punya income dengan bekerja di sini. Saya ingin menolong mereka yang putus sekolah, yang tidak punya orang tua. Mungkin dari situ mukjizat datang untuk saya, sehingga saya bisa merekrut orang untuk bekerja di sini. Kebanyakan karyawan di sini mereka yang putus sekolah atau yang tidak punya orang tua. Karena itulah tujuan kita. Tujuan utama saya itu saja, menyambung hidup dan menolong orang. Kemudian saya mulai untuk mengkreasikan bentuk dan isi dari cireng ini satu persatu.
Sekarang ini kan banyak yang meniru, sementara saya kan yang merintis, menemukan, menciptakan cireng, itu kan tidak mudah. Sedangkan mereka hanya meniru cireng isi ini. Usaha saya ini berjalan dari bawah tanpa saya sadari menjadi seperti ini. Tanpa ambisi, karena memang niat saya untuk menolong orang.
Nama Rampat sendiri memiliki arti apa?
Rampat itu nama anak- anak saya. Ramdhani dan Patria. Anak saya dua. Dari nama dua anak itu saya satukan. Memang kalau orang Sumatra bilang Rampat itu tempat rekreasi yang terkenal. Namanya Rajanya Ampat. Jadi, orang banyak yang mengira saya dari Sumatra. Ya, semua ini berjalan kebetulan, ingat cireng, ingat rampat. Banyak cireng yang lain meniru dari ini.
Seperti Cirengkoe?
Kalau Cirengkoe itu masih satu produk dari sini. Masih produk rampat. Cirengkoe itu ambil barang dari sini. Tapi kalau produk lain itu meniru dari sini. Mereka nama berbeda, tapi di bawah nama mereka ada tulisan produk rampat. Tapi dengan banyaknya penjiplak bukan menjadi penghalang bagi saya, itu menjadi cambuk bagi saya untuk menolong orang lebih banyak lagi.
Modal awal dari usaha ini berapa?
Modal awalnya nggak besar, ya. Dulu saya kan baru keluar kerja, anak-anak juga masih kecil. Modal usaha ini Rp 15.000,00. Tapi itu kan sebelum moneter, sekarang uang segitu untuk belanja ya nggak cukup. Dulu dengan uang segitu kan bisa dapat banyak bahan untuk membuat cireng. Sekarang repot banget. Alhamdulillah rejeki yang saya dapat bermanfaat bagi ribuan orang. Ada mitra yang bergabung untuk kerja sampingan dengan saya menjadi maju sehingga membuat saya mempunyai kenikmatan sendiri dan akhirnya mereka meninggalkan kerjaan utama mereka.
Ini sistemnya waralaba?
Bukan ini sistem beli-putus.
Seperti apa sistem beli-putus itu?
Jadi kalau misalnya ada mitra yang mau bergabung dari Bandung cukup memberikan uang administrasi Rp 500.000,00 untuk royalti. Kami berhak untuk mendapatkan royalti karena kami punya hak paten, ijin Depkes, dan NPWP. Dengan adanya itu kita berhak mendapat royalti. Uang itu juga dialokasikan untuk mendapatkan banner, bonus 50 potong cireng, dan harga minimum dari sini untuk dijual kembali. Kalau dari luar kota bayar uang sebesar 2juta rupiah. Yang 1 juta untuk administrasi dan yang satu juta lagi untuk uang deposit yang digunakan untuk belanja bikin cireng ini. Nanti kalau uang deposit habis, mereka kirim uang lagi untuk deposit. Jadi kayak kita beli pulsa.
Sejak kapan cireng rampat ini dipatenkan?
Sekitar 2007. Masih baru, semuanya masih baru. Makanya saya kalau ditanyakan keuntungan saya malu, karena masih banyak keperluan yang tidak terduga yang harus dilengkapi terus menerus karena kita belum punya fasilitas yang memadai.
Setelah dipatenkan, mitra semakin banyak, ya?
Iya, Alhamdulillah. Nggak muluk2 saya, asalkan kita masih bisa makan. Pas-pasan aja. Pas kita mau beli rumah, pas ada, pas mau beli makan, pas ada. Hahaha….
Sejak kapan sistem beli-putus ini berjalan?
Mungkin dari 1997. Tapi dulu belum ada uang administrasi karena kita belum ada lisensi. Yang ada uang deposit sebesar Rp 325.000,00. Yang Rp 25.000,00 digunakan untuk spanduk karena dulu belum ada banner. Yang Rp 300.000,00 untuk saldo mitra. Sekarang karena sudah ada hak paten jadi dikenakan biaya administrasi Rp 500.000,00 dari dalam kota dan satu juta rupiah dari luar Bandung.
Jadi gerainya mereka punya sendiri?
Ya, betul. Kita hanya menggunakan sistem beli-putus saja.
Ada berapa mitra sampai saat ini?
Lebih dari seratus.
Itu dalam dan luar bandung?
Iya. Kapolda Makasar saja beli cireng dari sini. Di Batam juga ada yang beli dari sini. Lampung juga. Tapi cireng itu untuk konsumsi mereka. Kalau pengiriman cireng untuk dijual lagi, baru sampai Sukabumi, Jakarta, Bogor, yang masih terjangkau dari Bandung. Kemingkinan awal tahun 2009 kita akan buka produksi di Malang. Karena kalau dikirim dari sini takut rusak di jalan, dan juga kan cireng tahan dua hari. Jadi dibikin hari ini, harus habis besok.
Sejak awal anda jualan di sini?
Enggak. Awalnya di belakang sana, di teras rumah. Masih di jalan cemara, tapi masuk gang. Trus saya beli roda, bikin gerobak. Waktu itu harga roda Rp 30.000,00. Dorong gerobak sendiri. Trus saya jualan sendiri. Mulai dari situ ada yang pesen ke jogja, ke Surabaya. Mulai dari itu juga saya mulai memikir untuk usaha seperti ini. Sistem beli-putus ini. Dengan cara demikian kita bisa membantu orang yaitu beli putus dari kita. Mereka bisa jualan. Secara tidak langsung saya membantu mengurangi beban pemerintah dengan mengurangi pengangguran iya nggak?
Iya, betul.
Jadi seperti itulah. Karena saya hidup seperti ini, membantu pemerintah dengan mengurangi pengangguran. Karena adanya pengangguran jadi banyak kejahatan. Mungkin dengan adanya tujuan seperti itu, kejahatan dapat dikurangi. Saya punya tujuan untuk membantu program pemerintah mengurangi pengangguran.
Kalau misalnya ada pengangguran yang masuk bekerja di sini. Lalu mereka punya modal untuk buka usaha cireng ini. Apakah yang seperti itu banyak?
Enggak. Mereka hanya direkrut jadi pegawai di sini saja. Tapi kalau mereka yang ada di sini mereka punya modal untuk beli etalase. Kalau mereka mau ya mereka jadi mita sini. Mungkin seperti itulah ya, berawal dari kepahitan. Setiap hari kan masalah terus berdatangan, tapi itu kan dicajikan cambuk untuk saya. Saya juga mempertahankan anak-anak di sini tanpa ada bapaknya.
Maaf, ke mana suami anda?
Saya pisah. Memang dari awal saya merintis ini saya masih bersama bapak. Tapi dia tidak suka ramai, dia banyak tidak sukanya. Jadi saya memberanikan diri untuk pisah dan akhirnya saya bisa mendapatkan seperti ini. Ini juga petunjuk Tuhan. Yang betul-betul saya syukuri dengan anugrah ini adalah saya bisa membantu orang. Ilmu yang saya dapatkan secara tidak sengaja bisa membantu banyak orang. Walaupun saya sakit hati banyak yang menjiplak cireng ini, tapi saya ambil hikmahnya, mereka ikut mempromosikan cireng ini. Yang saya sayangkan, saya belum punya tempat produksi sendiri. Seandainya ada investor yang mendengar keluhan saya ini ya kenapa nggak menolong saya untuk memberikan solusi.
Produksi Cireng Rampat di sini?
Iya, iya. Masih gabung di sini. Kebetulan saya tidak tinggal di sini, tapi tempat ini masih kontrak. Seandainya ini tempat sendiri kan semakin leluasa.
Ada berapa rasa cireng?
Yang saya keluarkan mayoritas 8. Tapi sebenarnya masih ada. Semuanya ada 11. Yang tetap dikeluarkan ada 8. Rasa lainnya itu, udang abon, dan kuah. Kalau abon itu tidak lagi dikeluarkan karena memang kurang laku. Kalau yang udang itu terlalu ribet. Sedangkan yang kuah hanya ada di pusat saja.
Untuk bentuk cireng itu dibentuk dengan cetakan khusus?
Iya, saya pesan khusus kepada produsen cetakan. Cetakan itu jadi setelah dua bulan kita pesan. Kalau dulu saya bikin pakai kayu papan.
Masih disimpan sampai sekarang?
Wah sudah nggak tahu ada di mana. Sering pindah rumah kan, makanya jadi nggak tahu di mana kayu itu. Padahal itu benda yang bersejarah, haha…
Apakah anda akan menciptakan cireng isi dengan isi yang baru lagi?
Ya, tapi tidak sekarang. Kita sedang berbenah dulu.
Berbenah dalam hal apa?
Kita sedang berbenah diri di pelayanan. Pada mitra, pada konsumen.
Kalau untuk menciptakan isi cireng yang baru itu, apakah anda melakukan survey pasar terlebih dahulu?
Tidak. Saya membuatnya berdasarkan feeling saja. Saya mau membuatnya berbeda dengan orang lain. Dulu pernah ada yang usul untuk membedakan rasa dengan diberi titik dengan warna yang berbeda. Saya tidak mau, itu kan meniru bakpau. Kalau cireng kan membedakan isinya dari bentuknya. Kenapa saya membentuk cireng isi bakso dengan bentuk bulat, karena bakso kan berbentuk bulat. Seperti itu. Jadi, ya, sesuai dengan perasaan saja.
Pusat produksi di mana?
Di Banjaran dan Jatinangor. Jadi untuk area tengah dan selatan dipegang mereka. Kalau di sini pusatnya. Jatinangornya di jalan Sayang. Yang Banjaran itu dipegang oleh anak saya dan yang di Jatinangor oleh adik saya.
Wah, jadi ini berkembang menjadi bisnis keluarga ya?
Iya, seperti itu.
Kalau untuk harga mitra dan konsumen?
Beda. Kalau untuk konsumen itu rata-rata Rp 1.500,00 per potong. Kalau harga mitra itu ada harga khusus karena ada administrasi itu tadi. Dengan membayar administrasi mendapatkan harga khusus yaitu harga minimum dari sini.
Berapa harga minimum cireng yang anda berikan?
Rp 800,00 sampai Rp 900,00. Mereka ada yang jual Rp 1.500,00 sampai Rp 2.500,00. Dengan memasarkan minimal 100 potong saja, mereka mendapatkan keuntungan yang lumayan.
Penghargaan yang anda dapat dari mana saja?
Pengusaha yang bisa memberikan kualitas kepada masyarakat dari Departemen Perindustrian baru-baru ini. Untuk masuk nominasi pernah di radio Produa.
Nominasi apa ya?
Pengusaha yang ikut meningkatkan sumber daya manusia. Seperti itu lah…
Ancaman yang dirasakan dari ini apakah hanya penjiplakan saja?
Iya. Tapi itu saya jadikan dorongan saja. Kayak Kartika Sari saja, orang kalau inget kue di Bandung, ingat Kartika Sari. Walaupun memang banyak penjiplaknya, tapi nggak sebanyak cireng yang menjiplaknya.
Apa itu karena bahan baku cireng murah?
Gini, orang itu tidak melihat saya dari bawah bagaimana. Mereka hanya melihat saya sekarang bagaimana. Mereka nggak liat perjuangan saya dari bawah itu seperti apa. Dari mulai cari adonan, memasarkan, memperkenalkan kepada masyarakat. Setelah masyarakat kenal, suka, dan berbondong-bondong ke dunia cireng, di situlah banyak yang menjiplak.
Booming cireng isi itu sendiri sejak kapan?
Dari 3 tahun ke belakang ini dan booming juga yang menjiplak. Hahahaha….
Memang sih kadang suka sakit hati tapi ga pernah dibikin sedih. Kita sudah bertahan belasan tahun dan masih ada. Saya hanya bikin satu ucapan syukur kepada Tuhan bahwa ilmu yang saya temukan bermanfaat bagi orang-orang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan ada investor yang mau dengar, baik hati, kalau tujuan saya itu mau menolong orang, merekrut pengangguran dan mereka mau memberikan tempat produksi.
Dalam sehari ada berapa banyak cireng yang diproduksi?
14.000 sampai 15.000. Minimal 12.000 sampai 14.000. Maksimal 16.000.
Wah, berarti dalam sebulan menghasilkan sangat banyak, ya?
Iya. Jadi kita memproduksi cireng per hari itu di atas 20.000. Bahkan di atas di 20.000. Dalam satu tempat produksi saja 14.000. Ini ada 3 tempat produksi.
Ini bikin cireng pakai tangan?
Iya, ini makanan kerajinan tangan, bukan kerajinan mesin. Hahaha… Kalau pakai mesin semua, bagaimana kita merekrut orang untuk bekerja, bagaimana mengurangi pengangguran. Jadi ini makanan betul-betul kerajinan tangan, khas. Makanan Bandung itu betul-betul kerajinan tangan bukan kerajinan mesin.
Bikin cireng jam berapa?
Dari jam 8 pagi sampai semuanya selesai.
Lalu untuk dijual keesokan hari?
Enggak, ini untuk dijual nanti siang. Kalau mau diambil pagi, kita bikin malamnya.
Ada berapa total pegawai?
Lumayan banyak. Sekitar 30 orang yang ada di pusat ini. Kalau disatukan dengan yang di Banjaran dan Jatinangor ada banyak.
Berapa keuntungan dari usaha cireng ini?
Kalau bicara keuntungan, saya malu. Karena memang keuntungan dari usaha ini lumayan. Tapi, kita tidak memiliki fasilitas. Jadi, keuntungan berputar untuk dialokasikan ini dan itu. Akhirnya keuntungan itu berputar terus karena kita belum punya fasilitas yang serius, yang memadai untuk karyawan, produksi, pemasaran, dan sebagainya. Dan ternyata memang, uang itu diputarkan seperti itu.
Saya pernah baca dari satu situs di internet. Di situs menyebutkan bahwa keuntungan per bulan dari usaha anda sekitar 36 juta per bulan. Apa itu betul?
Itu tergantung kita bagaimana memasarkan. Jadi soal keuntungan saya rasa, tidak bisa ditarget. Bisa saja lebih, kalau bisa memasarkannya. Jadi tergantung kita bagaimana memasarkannya dan bagaimana kita memanfaatkannya.
Jadi tergantung hasil penjualan saja, ya?
Ya. Jadi itu saya rasa kemungkinan tidak bisa mendapat hasil yang sama.
Apa yang anda lakukan dengan usaha ini pada saat krisis global ini?
Tidak ada pengaruh, ya. Soalnya saya menjalankan usaha ini tanpa ambisi. Yang penting saya dan anak saya masih bisa makan, pegawai saya juga jangan sampai kekurangan makan. Sesuatu masih bisa dipegang. Terkadang merasa berat ketika harga cabe rawit melambung tinggi mencapai Rp 70.000,00 sampai Rp 75.000,00 atau minimal Rp 45.000,00 per kilo. Tapi untuk harga yang lain stabil walaupun ada kenaikan. Tapi kita tetap di harga standar. Seandainya mitra mau menaikan harga, ya, silahkan. Kita tidak membatasi untuk menjual berapa. Yang penting, dari sini harganya sudah ada, kita tidak membatasi harga jual mereka. Itu tergantung dari mitra dan tergantung kita mau ambil untung berapa. Tergantung dari yang jual mau ambil untung berapa. Kalau pakai ambisi ya inginnya ambil untung besar, haha…. Kalau saya standar aja, dari dulu begini. Tidak pernah diubah bentuk atau dikurangi isinya.
Menurut pandangan anda, bagaimana masa depan dari usaha cireng rampat ini?
Kayaknya kalau kita dilengkap dengan fasilitas yang memungkinkan, akan cepat berkembang dan akan terus ada, tidak ada putusnya. Karena dari apa yang saya rasakan selama belasan tahun, usaha ini bukannya turun tapi semakin maju.
Dulu berapa harga cireng yang anda jual?
Dulu Rp 200,00 tapi isinya baru kacang. Lalu naik lagi menjadi Rp 250,00, dan naik lagi jadi Rp 300,00, lalu jadi Rp 1000,00 dapat 3. Sampai akhirnya Rp 500,00. Dan sampai sekarang yang isi kacang bertahan pada harga Rp 500,00. Waktu harga cireng Rp 200,00 itu saya mendapat cobaan yang berat, kan saya melakukan semua sendiri. Dari bikin sampai jual saya sendiri, semua sendiri. Dari situ kan kita bisa melihat ke bawah.
Jadi anda melakukan usaha ini benar-benar dari bawah, ya?
Iya, daripada kita usaha dari atas tapi nanti jatuh. Lebih baik kita merambat dari bawah.
Anda asli Bandung?
Iya, saya dari Bandung.
Anak-anak anda di mana?
Anak saya dua. Satu sudah menikah dan mengurus produksi cireng ini di Banjaran. Satu lagi di pusat sini, mengurus cireng di sini.
Harapan anda dari usaha cireng ini?
Ada modal untuk buka produksi Cireng Rampat ini di Malang, sehat, terus anak saya juga mau untuk meneruskan. Saya berharap banyak dari anak-anak agar anak-anak bisa menjadi generasi penerus dari usaha Cireng Rampat ini.
Bagaimana dengan keseharian anda?
Saya bergelut di aci, kan saya tukang aci. Olahraga saja saya tinggalkan untuk aci ini. Hanya urusan ke pasar dan mengurus aci.
Berarti anda masih menangani semua sendiri secara langsung?
Kalau secara langsung tidak terlalu. Sekarang dibantu dengan pegawai yang mengurus administrasi. Lalu dibantu anak saya dan nanti dibantu keponakan untuk pembukuan. Karena kalau ditangani sendiri artinya saya selalu ada di sini dan untuk mengembangkan ke depannya bagaimana. Jadi saya berpikir kapan kita mau berkembang kalau saya di sini terus. Jadi mungkin dengan adanya perwakilan saya di sini, saya akan lebih leluasa untuk mengembangkan usaha ini di luar. Karena memang masih banya pengangguran yang masih harus kita tolong, terutama yang berpendidikan rendah. Mungkin kalau kita punya tempat produksi yang luas, kita akan banyak untuk merekrut pengangguran.
Apakah cireng produksi anda pernah dibawa ke luar negeri?
Pernah, tapi bukan untuk dijual. Untuk konsumsi pribadi saja. Dibawa ke Singapura dan Belanda. Dan mereka suka dengan cireng saya.
Ada rencana untuk buka cabang di luar negeri?
Wow, keren banget. Di sini saja acak-acakan. Kita rapikan dulu di sini. Seperti yang saya katakan, saya gak ambisi. Yang penting cukup makan saja, saya sudah bersyukur.
Ada pengalaman pahit dalam melakukan usaha ini?
Saya pernah tertipu. Jadi saya orangnya gamapang percaya dengan orang lain. Saya pernah menitipkan mobil dengan kunci dan STNK kepada orang yang saya kenal, ternyata di menggadaikan mobil saya kepada mafia. Saya mengalami kerugian sekitar 60jutaan. Selain itu, yang menjiplak cireng-cireng saya itu.